A.
Pengertian Hadits
Menurut
pengertian secara bahasa, sunnah berarti:
[1][1]الطريقة المسلوكة,
Atau jalan yang ditempuh, baik terpuji maupun tidak sebagaimana sabda nabi SAW:
“barang siapa yang memelopori mengerjakan suatu pekerjaan yang baik, maka
baginya mendapat pahala atas perbuatan itu dan pahala orang-orang yang
mengerjakannya hingga hari Qiyamat. Dan barangsiapa memelopori mengerjakan
suatu pekerjaan jahat, maka ia berdosa atas perbuatannya itu, dan menanggung
dosa orang-orang yang mengikutinya hingga hari Qiyamat.”
Menurut Istilah, para Ulama memberikan
pengertian yang berbeda-beda menurut sudut mereka sendiri-sendiri. Menurut
Ulama Hadist, sunnah berarti segala yang dinukilkan dari nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrirnya atau selain itu[2][2]. Menurut Ulama Ushul Fiqh, sunnah
yaitu segala yang dinukilkan dari Nabi
Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut
pautnya dengan hukum. Dari kedua pengertian tersebut, terdaoat perbedaan antara
sudut pandang Ulama Hadist dengan Ulama Ushul Fiqh. Ulama Hadist memandang Nabi
Muhammad SAW sebagai manusia yang sempurna yang dapat dijadikan suri tauladan
bagi seluruh Ummat Islam, sedangkan Ulama Ushul Fiqh memandang Nabi Muhammad
SAW sebagai Musyarri’ yaitu orang yang membuat Undang-undang atau wetgever di
samping Allah SWT.
Sedangkan menurut Ulama Fiqh, sunnah
adalah perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai
wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain, suatu amalan yang apabila dikerjkan
mendapat pahala sedang apabila tidak dilakukan tidak mendapat apa-apa.
Sedangkan menurut Ulama Da’wah, sunnah diartikan sebagai kebalikan daripada
bid’ah.
B. Sebab-sebab
Hadits dinamai dengan Hadits
1. Menurut Az-Zumakhsyary:
ثنى النّبىّ
صلىّ اللهُ عليه وسلم قال......حدّ
“dia menceritakan kepadaku, bahwa
nabi bersabda....”
2. Menurut
Al-Kirmany dan Ibnu Hajar Al-Asqalany:
Karena ditinjau
dari segi “kebaruannya” dan pula sebagai perimbangan terhadap Al-Quran yang
bersifat Qadim, azaly. Dr. Subhy Shalih menyatakan bahwa para Ulama telah
menghindarkan diri untuk menggunakan istilah “Haditsullah” untuk Al-Quran.
C. Sinonim Istilah
hadits
Adapun sinonim
dari Hadits adalah: As-Sunah, Al-Khabar, dan Al-Atsar dengan pengertian[4][4] sebagai
berikut:
1.
As-Sunah
Sunah
menurut bahasa berarti
jalan yang ditempuh, adat istiadat, suatu kebiasaan, dan cara yang
diadakan. Makna sunah yang lain adalah tradisi yang kontinu
(berkelanjutan). Sedangkan sunah menurut istilah terdapat beberapa
perbedaan di kalangan ulama’, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Menurut ulama’
ahli Hadits (muhadditsin), sunah sama dengan hadits. Diantara
ulama ada yang mendefinisikan dengan ungkapan yang singkat yaitu segala
perkataan Nabi, perbuatannya dan segala tingkah lakunya.
b.
Menurut ulama’
Ushul Fikih adalah sesuatu yang yang diriwayatkan dari Nabi baik yang bukan
berupa Al-Quran yang berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang
patut dijadikan dalil hukum syara’.
Sunah menurut ulama
ushul fikih hanya perbuatan yang dapat dijadikan dasar hukum Islam. Jika suatu
perbuatan Nabi tidak dijadikan dasar hukum seperti makan, minum, tidur dan
lain-lain maka pekerjaan biasa sehari-hari tersebut tidak dikatakan sunah.
a.
Menurut ulama
Fikih adalah sesuatu ketetapan yang datang dari Rasulullah dan tidak termasuk
kategori fardhu dan wajib, maka sunah menurut mereka adalah sifat syara’
yang menuntut pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak disisksa bagi yang
meninggalkan.
b. Menurut ulama Fikih, sunah
dilihat dari segi hukum sesuatu yang datang dari Nabi tetapi hukumnya tidak
wajib, diberi pahala bagi yang megerjakannya dan tidak disiksa bagi yang
meninggalkannya. Contohnya: shalat sunah, puasa sunah, dan lain-lain.
2.
Al-Atsar
Atsar menurut bahasa
adalah bekas sesuatu[5][5]. Al-Zarkasyi
mengartikan Al-Atsar sebagai sesuatu yang disandarkan kepada sahabat
semata. Dengan demikian atsar tidak mempunyai hubungan langsung ataupun
tidak langsung dengan Nabi. Menurut istilah ada dua pendapat, pertama, atsar
adalah sinonim dari hadits. Kedua, atsar adalah sesuatu yang disandarkan
kepada para sahabat dan tabi’in baik perkataan maupun perbuatan. Sebagian
ulama’ mendefinisikan: sesuatu yang datang dari selain Nabi yaitu dari para
sahabat, tabi’in dan atau orang-orang setelahnya.
3.
Al-Khabar
Menurut bahasa khabar
adalah berita, pemberitahuan, laporan, ha mengenai peristiwa, kejadian, dan
keadaan. Sedangkan dari segi istilah khabar berarti sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi, sahabat dan tabi’in. Dengan demikian sumber atau
sandaran dari Al-Khabar dapat dari bebagai macam atau beberapa orang
termasuk Nabi, seperti sahabat dan tabi’in.
Mayoritas ulama
melihat Hadits lebih khusus yang datang dari Nabi, sedang khabar sesuatu
yang datang darinya dan dari yang lain, termasuk berita umat terdahulu, para
Nabi, dan lain-lain. Misalnya Nabi Isa berkata:…, Nabi Ibrahim berkata:… dan
lain-lain, termasuk khabar bukan hadits.
D. Perbedaan
Hadits dengan sinonimnya
Ulama’hadits menyatakan bahwasanya
hadits, sunah, atsar dan khabar adalah berarti sama dan mereka tidak memandang
ada perbedaan antara hadits dan sinonimnya sedangkan Ulama Fikih dan Ulama
Ushul Fikih memandang bahwa hadits dan sinonimnya mempunyai beberapa perbedaan
antara lain:
1. hadits sandarannya
Nabi, aspek dan spesifikasinya meliputi perkataan, perbuatan dan persetujuan
dan sifatnya khusus sekalipun dilakukan Cuma satu kali;
2. sunah sandarannya
Nabi dan sahabat, aspek dan spesifikasinya hanya pada perbuatan saja dan
sifatnya menjadi tradisi;
3. khabar sandaranya
Nabi dan selainnya, aspek dan spesifikasinya meliputi perkataan dan oerbuatan
dan bersifat lebih umum; dan
4. atsar sandarannya
sahabat dan abi’in, aspek dan spesifikasinya meliputi perkataan dan perbuatan
dan bersifat umum.[6][6]
2.2 Sejarah
perkembangan Hadist dari masa ke masa dan Sistem Pembukuannya
A.
Keadaan sunnah/Hadist pada masa nabi
Pada Zaman nabi SAW hadist-hadist
tersebut belum dibukukan, dikarenakan ada larangan penulisan
hadist tersebut[7][7], nabi pun bersabda:
لا
تكتبوا عنى شيأ غير القرأن, فمن كتب عنى شيأ غير القرأن فليمحه
“ jangan
menulis apa-apa selain Quran dari saya, barang siapa yang menulis apa-apa dari
saya selain Quran (ya’ni: Hadist) hendaklah menghapusnya”.
Dari larangan
penulisan tersebut, terdapat hikmah yang perlu kita ketahui, yaitu:
1.
Karena pada
waktu itu para sahabat Nabi SAW masih banyak yang “ummi” ( tidak bisa baca dan tulis), sedang
waktu itu banyak wahyu Illahi yang turun (Quran), jadi Nabi Mengkhawatirkan
jikalau mereka tidak dapat membedakan Quran dan Hadist hingga terjadi
percampuran antara keduanya.
2.
Nabi SAW
percaya dengan kekuatan Hapalan para sahabatnya dan kemampuan atas memelihara
semua ajarannya (Hadist) tanpa harus dengan catatan. Dan secara tidak langsung
Nabi melatih mereka untuk percaya dengan kemampuan diri sendiri.
الإعتماد على
النفس أساس النجاح
“ Percaya atas
diri sendiri adalah pangkal kebahagiaan”.
Tetapi di samping ada hadist yang
melarang untuk menulis hadist nabi, ada juga hadist yang menerangkan agar
supaya/membolehkan untuk menulis hadist nabi SAW, ialah sabda nabi:
أكتب عنى, فوالذى نفسى بيده ما خرج من
فمى إلا حق
“Tulislah dari
saya, demi dzat yang dariku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku
kecuali yang haq(benar)”.
Dengan
adanya hadist tersebut yang tampaknya bertentangan, maka ada beberapa pendapat yang muncul, yaitu:
1. Hadist yang melarang penulisan hadist tersebut telah dinsakh
dengan hadist yang membolehkannya (pendapat Jumhur).
2. Hadist yang melarang tersebut, ditujukan kepada orang yang
kuat ingatannya( hafalannya), begitu sebaliknya.
3. Hadist yang melarang tersebut tertuju kepada orang yang
menulis Quran dan Hadist dalam satu lembaran, karena khawatir bercampur antara
keduanya.
B.
Keadaan Hadist pada masa Khulafa’
Ar-Rasyidin (10 H - 40 H)
Pada masa ini hadist-hadist tersebut
belum juga dibukukan meskipun ummat islam sangat memerlukan hadist-hadist
tersebut selain Quran untuk dijadikan pedoman hidup dalam menyelesaikan masalah
yang tengah dihadapi. Penyampaian hadist
pada masa ini dilakukan dengan cara lisan dan hanya ketika benar-benar
diperlukan atau saat mengahadapi masalah yang memerlukan penjelasan hukum dari
Hadist[8][8].
C.
Keadaan hadist setelah masa Khulafa’ Ar-Rasyidin ( 41 H –
100 H)
Pada masa ini, mulai muncul
pepecahan d i kalangan ummat Islam
karena soal
khilafah/pemerintahan/politik, sehingga timbullah perang saudara Ali dan
Muawiyah, dan berakhir dengan perang siffin[9][9].
Demi menjaga kedamaian ummat Islam, maka Ali menerima permintaan
perdamaian dan musyawarah dari pihak Muawiyah. Tetapi pada masa itu ummat islam
terpecah menjadi 3 golongan, ialah:
1. Khawarij, ialah golongan pemberontak
yang tidak menyetujui perdamaian dan permusyawaratan dalam khilafah (tahkim).
2. Syi’ah, ialah golongan yang fanatic
dan mengkultuskan pada Ali.
3. Jumhur, ialah ummat islam yang tidak
termasuk keduannya, tetapi mereka tepecah menjadi 3 golongan, yaitu:
- Golongan yang mendukung pemerintahan
Ali;
- Golongan yang mendukung muawiyah;
- Golongan netral (independent).
a) Permulaan penulisan (pembukuan)
Hadist
Pada akhir abad I, Karena takut
lenyapnya ajaran-ajaran nabi SAW melihat
banyak para sahabat yang telah wafat maka kholifah umar bin abdul aziz
beranggapan perlu sekali untuk membukukan hadist-hadist Nabi SAW.
b)
System
pembukuan Hadist pada masa ini
Adalah penulis menghimpun semua hadist
yang membahas satu masalah saja dalam satu kitab karangan.
D)
Keadaan hadist pada abad ke II (101
H- 200H)
Setelah dirintis oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab Az-Zuhri
sekitar tahun 100H, penulisan hadist tersebut diteruskan oleh Ulama Hadist.
Ulama hadist pada masa ini diantaranya, yaitu:
1. Ibnu Juraij (wafat tahun 150H)
2. Al-Auza’I di Syria (wafat tahun
156H)
3. Syufyan Ats-Tsauri di Kufah (wafat
tahun 161H)
4. Imam Malik di Madinah (wafat tahun
179H)
System pembukuan Hadist pada masa
ini
Para penulis menghimpun hadist-hadist mengenai masalah yang
sama dalam satu bab, kemudian bab-bab tersebut dijadikan satu sehingga
tercampur antara hadist dan fatwa sahabat dan tabi’in.
E)
Keadaan hadist dalam abad III H
Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah
usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara
periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits
ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari
usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih
luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa'
al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan
hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang
berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan
lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara
periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan
memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa
Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan
golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni
pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis
dalam kitab Nahyu al-Balaghah, "Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul
hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah dari golongan
Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah
(Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits untuk mengimbangi
hadits golongan Syi'ah itu". Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di
masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq
(pusat kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu".
Pada masa ini juga terjadi pertentangan hebat antara ulama
kalam(dari kaum mu’tazilah) dengan ulama Hadist. Menurut kaum mu’tazilah Quran
itu adalah Makhluk.
System
pembukuan Hadist pada masa ini
Ada tiga system pembukuan Hadist, yaitu:
1. Penulis menghimpun semua serangan
(celaan) yang dilancarkan oleh Ulama-ulama kalam kepada pribadi Ulama-ulama
hadist. Kemudian penulis menjawab dan menanggapi semua celaan tersebut dengan
alasan yang kuat sehingga menjaga nama baik Ulama Hadist dan membersihkan
Hadist-hadist yang telah dicatat.
2. Pengarang menghimpun Hadist secara
“musnad” yaitu menghimpun semua hadist dari tiap-tiap sahabat tanpa
memperhatikan masalah-masalahnya(isi Hadist) dan nilainya ( ada yang shohih,
hasan dan dlaif).
3. Penulis menghimpun
Hadist-hadist secara bab-bab seperti
kitab fiqh dan tiap bab memuat hadist yang sama maudlu’nya(masalahnya).[10][10]
Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Hadits
Pada masa awal
perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan
al-Muktsirun fi al-Hadits, mereka adalah:
a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.
a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.
Sedangkan dari
kalangan Tabi'in, tokoh-tokoh dalam periwayatan hadits sangat banyak sekali,
mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, di antaranya :
a. Madinah
- Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
- Salim ibn Abdullah ibn Umar
- Sulaiman ibn Yassar
b. Makkah
- Ikrimah
- Muhammad ibn Muslim
- Abu Zubayr
c. Kufah
- Ibrahim an-Nakha'i
- Alqamah
d. Bashrah
- Muhammad ibn Sirin
- Qotadah
e. Syam
- Umar ibn Abdu al-Aziz (yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori kodifikasi hadits)
f. Mesir
-Yazid ibn Habib
g. Yaman
- Thaus ibn Kaisan al-Yamani
a. Madinah
- Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
- Salim ibn Abdullah ibn Umar
- Sulaiman ibn Yassar
b. Makkah
- Ikrimah
- Muhammad ibn Muslim
- Abu Zubayr
c. Kufah
- Ibrahim an-Nakha'i
- Alqamah
d. Bashrah
- Muhammad ibn Sirin
- Qotadah
e. Syam
- Umar ibn Abdu al-Aziz (yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori kodifikasi hadits)
f. Mesir
-Yazid ibn Habib
g. Yaman
- Thaus ibn Kaisan al-Yamani
F)
Keadaan Hadist mulai permulaan abab
IV H- tahun 656H
Menurut Adz-Dzahabi, tahun 300H adalah tahun pemisah antara
Ulama Mutaqoddimin( Ulama sebelum tahun 300H) dengan Ulama Mutaakhkhirin (Ulama sesudah tahun 300H)[11][11]. pada masa ini terbagi menjadi dua
bagian, yaitu:
1. Keadaan Hadist pada abad IV H
Pada masa ini masih terdapat ulama
hadist yang memilki kesanggupan serta kemampuan untuk menghimpun Hadist atas
usaha sendiri, tidak mengutip dari kitab-kitab Hadist sebelumnya, dianataranya:
a. AL-HAKIM (wafat tahun 405H)
b. AD-DARUQUTHNI (wafat tahun 385H)
c. IBNU HIBBAN (wafat tahun 354H)
d. ATH-THABRANI (wafat tahun 360H)
2. Keadaan Hadist pada abad V H s/d 656
H/ masa menghimpun dan menertibkan susunannya (Ashru Al-Jami’ wat Tartib)
Karya-karya ilmiah Ulama Hadist pada
abad V H samapai tahun 656 H, hanya terbatas pada penghimpunan dan penyusunan
Hadist-hadist secara teratur dan sistematis.
Karangan ilmiah pada masa ini
diantaranya ialah:
a. Menghimpun Hadist-hadist yang
terdapat di kitab shahihain dalam satu kitab oleh Ibnul Furot ( wafat tahun
414H) dan Al-Baghowi ( wafat tahun 516 H).
b. Menghimpun Hadist-hadist dari kuttub
sittah dalam satu kitab oleh Ibnul Atsir Al-Jazari (wafat tahun 606 H).
c. Mebghimpun Hadist-hadist menurut
bidangnya. Oleh Ibnu Taimiyah (wafat tahun 656 H).
d. Pengarang menyusun kitab “
Al-Athraf” ialah suatu kitab Hadist di mana pengarang menyebutkan sebagian
(pemulaan) dari hadist yang dapat menunjukkan kelanjutannya.
G) Keadaan Hadist mulai tahun 656 H –
Sekarang
Setelah pemerintahan Abbasiyah jatuh,
dan situasi ummat islam pada masa itu sangatlah memprihatinkan yang menyebabkan
para Ulama tidak dapat dengan bebasnya menyampaikan dan menerima ajaran-ajaran
Nabi SAW secara langsung dengan lisan/dari orang lain. Maka cara penyampaiannya
pun dilakukan dengan jalan surat menyurat dan ijazah ( idzin yang diberikan
kepada murid untuk meriwayatkan Hadist-hadist yang telah ditulis oleh guru
dalam kitabnya)[12][12].
Pada masa ini, disebut dengan ‘ashr
al-syarh wa al-jam’i wa al-takhrij wa al-bahts yaitu masa pensyarahan,
penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan. Para ulama berupaya mensyarah
kitab-kitab Hadist yang sudah ada, menghimpun dan mengumpulkan yang sudah ada.
Juga membahas dan mentakhrij hadist-hadist dalam kitab tertentu serta membahas
kandungan kitab-kitab hadist terebut.
Kitab-kitab yang dibuat oleh para Ulama pada masa ini adalah:
1. Kitab Zawaid
karangan Syihabuddin Ahmad Al-Bushiri (wafat tahun 852H) dan karangan Nuruddin
Abu Hasan Ali-Haitamy (wafat tahun 807H)
2.
Jam’ul Jawami’
karangan Imam Syuyuti (911H);
Kemudian pada
abad ke XII H sampai sekarang, dapat dikatakan bahwa sudah tidak lagi ada
kegiatan untuk membukukan dan sebagainya dari kalangan para Ulama Hadist.[13][13]
2.3
Macam hadits
dan Contoh Hadits Nabi SAW
Ada empat macam
hadits nabi Saw ,serta banyak sekali contoh-contoh[14][14] hadits Nabi SAW yang
sering kita jumpai. Ada beberapa macam hadits Nabi SAW, ialah:
a.
Yang berupa
perkataan/Sabda:
عن عبد الله بن عمر وبن العاص رضى الله عنه قال:
سمعت رسول الله ص م. يقول: إنَّ اللهَ يَقبِضُ العلمِ إئتزاعاً ينتزعه من العباد
ولكنّ يقبضُ العلم يقبضُ العلماء حتى إذالم يبقِ عالما إتخد الناسُ رؤسا جُهَّالاً
فسئلوافافتوا بغير علمٍ فضلوا وأضلوا (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “ Dari
Abdullah bin Amr bin Ash ra. Berkata: saya telah mendengar Rasullah SAW ,
bersabda: sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu itu dengan cara mencabut
dari dadanya para hamba, tetapi dia mencabut ilmu dengan cara mencabut nyawa
para Ulama. Sehingga bila telah tidak tinggal lagi seorang pun yang berilmu,
manusia lalu mengambil mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Dan apabila
mereka para pemimpin itu ditanya tentang sesuatu, mereka memberikan fatwa tanpa
berdasarkan ilmu pengetahuan, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan”.
(Riwayat Bukhori dan Muslim)
عن هبى هريرة رضى الله عنه
قال: قال النبىُّ ص.م. الإيمان بضعٌ و سبعون سعبة من الإيمان
(رواه البخار و
مسلم)
Artinya:”Dari Abu
Hurairoh ra. Berkata: telah bersabda Nabi SAW: iman itu ada tujuh puluh cabang.
Dan malu itu cabang dari iman (Riwayat Bukhori dan
Muslim)[15][15]
b.
Yang berupa perbuatan:
عن جابر رضى الله عنه قال:
كان رسول اللهِ صلىَّ اللهُ عليهِ و سلّمَ يصلىِّ علىَ راحلتهِ حيثُ توجّهتْ بإفاء
ذا أراد ألفريضةَ نزل فاستقبل القبلة (رواه البخارى)
Artinya: “Dari Jabir ra. Berkata:Adalah Rasulullah SAW. Shalat di atas
kendaraanya itu menghadap. Maka apabila beliau hendak shalat fardhu, beliau
turun dari kendaraanya kemudian sholat mengahadap ke arah qiblat.” (Riwayat Bukhori)
عن أنس ابن مالك رضىَ اللهُ عنهُ قال: كان رسول
اللهِ ص.م. إذاارتحل قبل أن تزيغ الشمس أخّر الظّهرُ الى وقت العصرِ ثمّ نزلَ
فجمعَ بيّنهما, فإن زاغت الشمسُ قبل أن يرتحل صلىّ الظهرَ ثمّ ركِبَ.
(رواه البخارى و مسلم)
Artinya:” dari Anas Ibn Malik ra. Berkata:Adalah Rasulullah SAW. Apabila
berangkat bepergian sebelum tergelincir matahari, beliau mentakhirkan sholat
dhuhur ke waktu ashar, kemudian berhenti
lalu menjamakkan sholat dhuhur dengan sholat ashar. Jika telah
tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliaupun mengerjakan sholat
Dhuhur, krmudian beliau berangkat mengendarai kendaraan.”(Riwayat Bukhori dan Muslim).
c. Yang berupa Taqrir (pengakuan):
Yang dimaksud dengan
taqrir (pengakuan) nabi ialah apabila Nabi mendiamkan atas perbuatan atau
perkataan yang dilakukan oleh sahabat[16][16]. Satu contoh, pada suatu
ketika Nabi bersama Khalid bin Walid berada dalam suatu jamuan makan yang
dihidangkan daging biawak. Nabi tidak menegur atas adanya jamuan dari daging
biawak tersebut. Dan tatkala Nabi dipersilahkan untuk memakannya, beliau bersabda:
لا ولكن لم يكن بأرضىِ
قومىِ فأجدنى أعافُهُ
“Maafkan. Berhubung binatang ini tidak terdapat di
kampung kaumku, aku jijik padanya”.
قال خالدٌ: فاجتززتهُ
فأكلتهُ ورسول اللهِ ص.م. ينظر إلىّ
“Kata Khalid : Segera aku memotongnya dan memakannya,
sedang Rasulullah SAW. Melihat padaku”.
d. Yang berupa sifat/keadaan Nabi
عن البرّاءِبنِ عازبٍ رضى
اللهُ عنهما: كان رسول اللهِ ص.م. أحسن الناس وجهاً و أحسنهُ خلقاً ليس بالطويل
البائن ولا با لقصير . (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Dari Al-Bara’i bin Al-‘Azib radliyallahu an huma berkata:
Adalah Rasulullah SAW. Itu sebaik-baik manusia mengenai parasnya dan bentuk
tubuhnya. Beliau bukanlah orang yang jangkung dan bukan pula orang yang
pendek”. (Riwayat Bukhori dan Muslim).
عن أنسٍ بن مالكٍ رضى الله
عنه قال: كان شعر رسول الله ص.م. رجلاً ليس بالسبط ولا الجعد بين اذنيهِ وعا تقه.
(رواه البخارى و مسلم)
Artinya:”Dari Anas bin Malik ra. Berkata: Rambut Rasulullah SAW.
Tidaklah terlalu keriting dan tidaklah terlalu lurus. Panjangnya anatara kedua
telinga dan bahu beliau”. (Riwayat Bukhori dan Muslim)
2.4 Pembagian dan Macam-macam
Hadits, serta tinjauan
pembagian Hadits
A. Latar Belakang adanya pembagian Hadits
Sejarah tentang
periwayatan Hadits sangatlah berbeda dengan sejarah periwayatan Al-Quran. Periwayatan Al-Quran
sejak zaman Nabi SAW sampai ke generasi berikutnya tetaplah terpelihara baik
dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk hafalan. Periwayatan Al-Quran dari
Nabi kepada sahabat berlangsung secara terbuka dan umum, sehingga tak heran
jumlah para penghafal Al-quran tak terhitung. Selain itu, Al-Quran juga sudah
tidak diragukan lagi jika sampai sekarang tetap terpelihara keorisinalnya.
Dilihat dari segi periwayatannya Al-Quran berkedudukan sebagai:قطعىُّ الورودِ Artinya: periwayatannya tidak
diragukan lagi kebenarannya.[17][17]
B.
Macam-macam
Tinjauan (segi) pembagian Hadits
Para Ulama Hadits telah berusaha membagi Hadits-hadits Nabi dipandang dari
berbagai segi, tetapi setelah itu pembagian itu masih dibagi lagi dalam
beberapa macam.
1.
Pembagian dilihat dari jumlah perawinya
Dilihat dari segi jumlah perawinya, maka hadits Nabi dibagi menjadi:
a)
Hadits
Mutawatir;
b)
Hadits Mashur;
c)
Hadits Ahad.
Pembagian ini telah disepakati oleh sebagian besar Ulama Fiqh dan Ulama
Ushul. Sedangkan menurut Ulama Hadits, cukup dibagi dua, yakni: Hadits
Mutawatir dan Hadits Ahad.
Kemudian , hadits Ahad dibagi menjadi dua, yaitu: Hadits Masyhur dan Hadits
Ghairu Masyhur. Untuk Hadits Ghairu Masyhur dibagi lagi menjadi dua, ialah:
Hadits Aziz dan Hadits gharib.
2.
Pembagian dilihat dari segi yang menyampaikan berita
Menurut Istilah Prof. Hasbi, hadits dalam segi penyampaian berita ini terbagi menjadi
3, yaitu: Hadits Marfu’; Hadits Mauquf; dan Hadits Maqtu’.
3.
Pembagian dilihat dari segi persambungan sanad
Dalam segi persambungan sanadnya , Hadits dibagi menjadi:
1.
Hadits yang bersambung sanadnya.
Hadits ini dibagi lagi, ialah: Hadits Musnad dan Hadits Muttasil (Mausul).
2.
Hadits yang tidak bersambung sanadnya. Hadits ini terbagi menjadi:
- Hadits Mu’allaq
- Hadits Munqathi’
- Hadits Mu’dlal
- Hadits Mudallas
- Hadits Mursal
4.
Pembagian dilihat dari segi penyandarannya kepada Allah
Di antara Hadits Nabi, ada yang oleh
Nabi sendiri diawali dengan pernyataan berasal dari Allah, dengan pernyataan: قال اللهُ تعلى atau
قال عز وجلّatau kata-kata lain yang semakna. Hadits yang demikian ini disebut dengan
Hadits Qudsy. Dan yang tidak termasuk hadits Qudsy disebut Hadits Nabawy.
5.
Pembagian dilihat dari segi alitas sanad, perawi dan matan
Melihat kenyataan, bahwa sanad Hadits ada yang bersambung dan ada pula yang
tidak bersambung, kemudian perawinya ada yang dapat dipercaya dan ada yang
tidak, serta kandungan haditsnya ada yang janggal dan ada pula yang wajar.
Dalam segi kualitas sanad, perawi dan matannya ini para Ulma hadits telah
sepakat membagi dalam 3 macam:
-
Hadits Shahih;
-
Hadits Hasan; dan
-
Hadits Dha’if.
Keseluruhan
pembagian tersebut, pada hakikatnya selain bertujuan untuk mempermudah
klasifikasinya, juga ditujukan untuk memperoleh keyakinan (dugaan yang keras)
tentang sejauh mana validitas Hadits itu berasal dari Nabi Muhammad SAW. Jadi,
kita bukan mempersoalkan tentang sabda Nabi sebagai ajaran, tetapi
mempersoalkan tentang apakah yang dinyatakan orang sebagai Hadits Nabi itu
benar-benar berasal dari Nabi SAW. Sebab, jikalau sudah yakin bahwa riwayat
tersebut benar dari Nabi SAW, maka tidak ada lagi alasan unruk tidak
mengamalkannya.[18][18]
0 comments:
Semua umpan balik saya hargai dan saya akan membalas pertanyaan yang menyangkut artikel di Blog ini sesegera mungkin.
1. Komentar SPAM akan dihapus segera setelah saya review
2. Pastikan untuk klik "Berlangganan Lewat Email" untuk membangun kreatifitas blog ini
3. Jika Anda memiliki masalah cek dulu komentar, mungkin Anda akan menemukan solusi di sana.
4. Jangan Tambah Link ke tubuh komentar Anda karena saya memakai system link exchange
5. Dilarang menyebarluaskan artikel tanpa persetujuan dari saya.
Bila anda senang dengan artikel ini silahkan Join To Blog atau berlangganan geratis Artikel dari blog ini. Pergunakan fasilitas diatas untuk mempermudah anda. Bila ada masalah dalam penulisan artikel ini silahkan kontak saya melalui komentar atau share sesuai dengan artikel diatas.
Post a Comment