Translate this page

Sunday, May 12, 2013

Fatwa DSN-MUI




        Fatwa DSN-MUI  Tentang Perbankan Syari’ah


a.    Fatwa tentang akad Mudharabah (bagi hasil)
Akad Mudharabah merupakan  akad yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu,akad ini dianggap sebagai tulang punggung praktek perbankan syariah. DSN-MUI telah menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman bagi praktek perbankan syariah. Dalam fatwa nomor tersebut disebutkan: “LKS (lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal. 43) Pada fatwa dengan nomor tersebut, DSN menyatakan: Pada ketentuan lainnya, DSN kembali menekankan akan hal ini dengan pernyataan: “Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun, kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.”
Tetapi Praktek perbankan syariah di lapangan masih jauh dari apa yang di fatwakan oleh DSN. Andai perbankan syariah benar-benar menerapkan ketentuan ini, niscaya masyarakat berbondong-bondong mengajukan pembiayaan dengan skema mudharabah. Dalam waktu singkat pertumbuhan perbankan syariah akan mengungguli perbankan konvensional. Tetapi fakta tidak semanis teori. Perbankan syariah yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan fatwa DSN secara utuh. Sehingga pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal dari perbankan syariah, masih diwajibkan mengembalikan modal secara utuh, walaupun ia mengalami kerugian usaha.
b.      Fatwa Tentang Murabahah Kontemporer.
Akad Murabahah  adalah satu satu produk perbankan syariah yang banyak diminati  masyarakat. Karena akad ini menjadi alternatif mudah dan tepat bagi berbagai pembiayaan atau kredit dalam perbankan  konvensional  yang tentu sarat dengan riba. Kebanyakan ulama dan juga berbagai lembaga fikih nasional atau internasional, membolehkan akad murabahah kontemporer. Lembaga fikih nasional DSN (Dewan Syariah Nasional) di bawah MUI, juga membolehkan akad murabahah, sebagaimana dituangkan dalam fatwanya no: 04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa DSN ini, menjadi payung dan pedoman bagi perbankan syariah dalam menjalankan akad murabahah.  DSN pada fatwanya No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang Murabahah menyatakan: “Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal.24) dalam hal ini bank mana yang benar-benar menerapkan ketentuan ini sehingga barang yang diperjual belikan benar-benar telah dibeli oleh bank.  Pada prakteknya, perbankan syariah, hanya melakukan akad murabahah bila nasabah telah terlebih dahulu melakukan pembelian dan pembayaran sebagian nilai barang (bayar uang muka). Tidak ada bank yang berani menuliskan pada laporan keuangannya bahwa ia pernah memiliki aset dan kemudian menjualnya kembali kepada nasabah. Seperti kita  mengetahui bahwa perbankan di negeri kita, baik yang berlabel syariah atau tidak, hanyalah berperan sebagai badan intermediasi. Artinya, bank hanya berperan dalam pembiayaan, dan bukan membeli barang, untuk kemudian dijual kembali. Karena secara regulasi dan faktanya, bank tidak dibenarkan untuk melakukan praktek perniagaan praktis. Dengan ketentuan ini, bank tidak mungkin bisa membeli yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri. Hasilnya, bank telah melanggar ketentuan DSN MUI di atas.
C.    Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syari’ah
1.      Program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
2.      Program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan  dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
3.      Program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
4.      Program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Dll.




Kesimpulan
1. Pemikiran hukum Islam di masa Nabi belum menampakkan corak pemahaman yang diakibatkan oleh perbedaan penafsiran, karena posisi Nabi selain sebagai bayan (pemberi penjelasan) juga sebagai penetap hukum atau masalah yang muncul. Sehingga kesimpulan hukum yang dihasilkan kurang bahkan tidak reaksi dalam masyarakat. Pada zaman Nabi, hukum-hukum atau penetapan-penettapan hukum itu masih belum mendapatkan bentuk tertentu. Hukum Islam pada waktu itu masih merupakan sesuatu yang lahir dari ucapan-ucapan Nabi yang nampak pada tindakan-tindakan Nabi. Beliaulah dan hanya dari beliau sendiri, baik yang berupa wahyu maupun yang berupa musyawarah dengan para sahabt-sahabat, dan dapat dianggap sah sesuatu penetapan hukum.
2. Pada periode Pemikiran Hukum Islam Masa Khulafaur Rasyidin, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.
Abu bakar As-Shidiq (537 – 634 M) - Abu Bakar As-Shidiq banyak menemui permasalahan dalam pengumpulan zakat, sebab pada masa itu muncul orang-orang yang enggan membayar zakat. Abu Bakar As-Shidiq membangun kembali Baitul Maal dan meneruskan sistem penditribusian harta untuk rakyat. Beliau juga mempelopori sistem penggajian bagi aparat negara, misalnya untuk khalifah sendiri digaji amat sedikit, yaitu 2,5 atau 2,75 dirham per hari. Tunjangan tersebut kurang mencukupi kemudian dinaikkan menjadi 2000 atau 2500 dirham, pada riwayat lain 6000 dirham per tahun.

Umar bin Khattab (584 – 644 M) - Umar bin Khattab mengambil langkah-langkah besar dalam pengembangan sektor pertanian, karena beliau menyadari pentingnya pertanian bagi perekonomian negara. Pada masa ini hukum perdagangan mengalami penyempurnaan, Umar mengurangi beban pajak terhadap beberapa barang, pajak perdagangan nabati dan kurma Syria sebesar 50%. Umar membangun Baitul Maal yang regular dan permanen di ibu kota, kemudian dibangun cabang-cabang di ibu kota propinsi.

Umar mendirikan Diwan Islam yang pertama, yang disebut al-Diwan. Al-Diwan adalah sebuah kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pension serta tunjangan lainnya dalam basis yang regular dan tepat. Umar juga membentuk sebuah komite untuk membuat laporan sensus penduduk Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan kelasnya.


Usman bin Affan (577 – 656 M) - Usman membangun saluran air dan jalan-jalan dalam rangka pengembangan sumber daya alam, mengingat semakin luasnya wilayah negara Islam. Kemudian Usman juga memperkenalkan kebiasaan membagikan makanan di masjid untuk orang-orang menderita, pengembara dan orang miskin. Usman membentuk organisasi kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur perdagangan. Selain itu, dibentuk pula armada laut kaum Muslimin.

Ali Bin Abi Thalib (600 – 661 M) - Ali adalah orang yang sangat sederhana. Beliau secara sukarela menarik diri dari daftar penerima bantuan baitul maal, bahkan memberikan 5000 dirham setiap tahunnya. Beliau sangat ketat dan berhati-hati dalam menjalankan keuangan negara. Salah satu upayanya yang monumental adalah pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam, di mana sebelumnya menggunakan uang dinar dari Romawi dan dirham dari Persi
FATWA EKONOMI SYARIAH
Formulasi  fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau ”ashlahiyah”  (mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan. Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah populer kaedah, ”Di mana ada mashlalah, maka di situ ada syariah Allah”. Watak maslahat syar’iyah antara lain berpihak kepada semua pihak atau berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga syariah, nasabah, pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas.
Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis) tetapi juga secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan). Karena itu untuk menguji shalahiyah  (validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah berjalan waktu yang cukup dalam  implementasi fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran teoritis mendapatkan pembenaran dalam penerapannya di lapangan.
Produk Fatwa DSN
 Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 47 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah, diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah  ijarah, kartu kredit, dsb.
Saran
Struktur dan format fatwa sudah memadai dengan rumusan yang simple. Jika dibandingkan dengan format fatwa mufti Mesir misalnya, fatwa DSN MUI lebih komplet muatannya. Namun format fatwa DSN-MUI hanya terbatas memberikan penentuan status hukum masalah yang difatwakan,  belum bersifat ”ifadah ’ilmiah” yakni memberikan kegunaan pencerahan wawasan keilmuan, sehingga kurang memberikan bekalan kepada kalangan di luar para ulama ekonomi syariah. Karena itu  disarankan agar setiap fatwa disertai lampirannya, berupa uraian ilmiyah singkat yang mengantarkan pada kesimpulan-kesimpulan isi fatwa.
Fatwa ini seharusnya disebarkan oleh MUI kepada masyarakat, agar umat mengetahui hukum-hukum ekonomi syariah. Sangat disayangkan pengursu MUI kabupaten kota pun kadang tidak memiliki buku fatwa ekonomi syariah MUI tersebut. Padahal telah dikirim ke MUI Propinsi.
Para ulama harus meningkatkan pengetahuan ekonomi syariah kontemporer melalui workshop, training atau seminar, sehingga wawasannya menjadi luas dan mampu memahami bahkan menjawab persoalan kekinian secara valid dan akurat, Jangan hanya berkutat dalam persoalan kajian ibadah, pemikiran teologi, pahala, syorga dan neraka, tapi kajian Islam yang komprehensif.

  1. Hadist tentang Akad dalam Hukum Bisnis Islam
Hadist yang menerangkan tentang Akad sebagai berikut   -حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : الْمُتَبَايِعَانِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ عَلَى صَاحِبِهِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ بَيْعَ الْخِيَارِ.(أخرجه البخارى ومسلم)
Hadist dari Abdullah bin Yusuf, beliau mendapatkan hadist dari Malik dan beliau mendapatkan Hadist dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar Rodliyallohu ‘anhuma. Sesungguhnya Rosulalloh Sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Dua orang yang jual beli, masing-masing dari keduanya boleh melakukan khiyar atas lainnya selama keduanya belum berpisah kecuali jual beli khiyar.” (HR Bukhori dan Muslim).
Dasar Hukum tentang kebatalan suatu perjanjian  yang melawan hukum ini dapat di rujuki ketentuan hukum  yang terdapat dalam hadist Rosululloh SAW hadist dari Jabir bin Abdullah Rhodliyallohu ‘anhuma dalam kitab Syurutuhum Bainahum yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori.
وَقَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي الْمُكَاتَبِ شُرُوطُهُمْ بَيْنَهُمْ. وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ ، أَوْ عُمَرُ كُلُّ شَرْطٍ خَالَفَ كِتَابَ اللهِ فَهْوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِئَةَ شَرْطٍ.
Segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam Kitab Allah ( Hukum Allah) adalah batal, sekalipun sejuta syarat” (HR Bukhori )”

“Siapa saja dua orang yang berjual beli, maka yang menjadi pegangan adalah perkataan penjual atau saling mengembalikan”(HR. Dailami)

Dari sini bisa dipahami bahwa seolah-olah malik mengartikan hadist tersebut kepada umumnya dan ini mengharuskan adanya jual beli pada majelis atau sesudahnya. Hadist ini muqothi’ dan tidak bisa menentang hadist pertama. Apabila pertentangan tersebut hanya berdasarkan perkiraan akan adanya keumuman pada hadist munqothi’ tersebut. Yang lebih baik adalah jika hadist terakhir munqothi’ ini ditegaskan atas hadist pertama. Sepengetahuan saya hadist terakhir ini tidak pernah diriwayatkan oleh seseorang dengan musnad (yakni disandarkan kepada Nabi saw.). begitulah pegangan Malik dalam meninggalkan Hadist tersebut.
Dalam menolak hadist Khiyar ini, para pengikut Malik berpegangan pada lahiriah dalil-dalil sam’iyat dan qiyas. Dan diantara dalail lahir yang paling jelas dalam masalah ini ialah firman Allah Surat Al-Maidah ayat petama.
يأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ (1) [المائدة : 1]
B. Tasyri’ pada Masa Khulafaur Rasyidin
Khulafaur Rasyidin adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menyebutkan empat orang pimpinan tertinggi umat Islam yang berturut-turut menggantikan kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai kepala negara,yaitu Abu Bakar (w. 13 H), Umar bin Khattab (w. 23 H),Usman bin Affan (w. 35 H)dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H). Sebutan tersebut diberikan-kepada mereka, selain berhubungan dengan sifat rasyad atau rusyud yang diangap selalu menyertai tindakan dan kebijakan yang mereka lakukan juga dengan ungkapan yang tersebut di dalam hadis Nabi Saw.
Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw tahun 11 H, sampai pada masa berdirinya Dinasti Umayyah ditangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fiqih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam. Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.
Alasan mereka untuk kembali Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sebagaimana diperintahkan dalam al-Qur’an untuk berbakti kepada Allah dan Rasulullah, dan mengembalikan hal-hal yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasulullah serta menerima atau berserah diri kepada sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasulullah.
Adapun alasan mereka untuk memegangi ijtihad adalah
a. Mereka mencontoh perbuatan Nabi, yaitu mempergunakan ijtihadnya apabila wahyu Ilahi tidak turun kepadanya.
b. Percakapan yang pernah terjadi ketika Rasulullah mengutus Muaz bin Jabal menjadi Qadi negeri Yaman.
c. Apa yang mereka pahami dari penyebutan illat (alasan) pada sebagai hukum dalam nas al-Qur’an dan As-Sunnah, bahwa tujuan dari penetapan hukum tersebut ialah untuk merealisasikan kemaslahatan umat manusia. Dan manakala kemaslahatan menghendaki perturan, umat Islam wajib berusaha menyusun peraturan yang bisa merealisasikan kemaslahatan tersebut.
Atas dasar inilah, para mufti dari kalangan sahabat bersepakat untuk mengembalikan persoalan kepada sumber perundang-undangan yang tiga ini dengan mengikuti urutan-urutannya, sebagaimana yang sudah kita cantumkan di atas.
Para sahabat ketika menerima alquran dan Sunah, mereka tunduk mengamalkannya menurut teks ungkapan semata-mata, kecuali sahabat seperti Umar bin Khattab. Tercatat dalam banyak hal ia sering mengusulkan pendapatnya kepada Khalifah Abu Bakar untuk dijadikan sumber kebijakan, seperti upaya pengumpulan Alquran dan sebagainya; begitu pula pendapatnya hingga dibijaki sendiri melalui dewan musyawarah sahabat, atau kadang menggunakan kekuasaan otoriternya dalam kapasitas beliau sebagai khalifah; seperti kebijakannya mencabut hukum potong tangan pada musim krisis pangan, hukum harta rampasan dari hukum perdata hak milik prajurit menjadi milik negara atau membebankan hak bagi khalifah untuk menarik pajak di atasnya, Sehingga di samping hukum zakat ada hukum pajak, serta reinterpretasi hukum dalam pembagian zakat.
Pada periode ini, metode dalam pembentukan dan pembinaan hukum, dilaksanakan dengan mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penelitian
2. Mencari informasi
3. Bermusyawarah atau diskusi
4. Mengistinbatkan hukum
Salah satu contoh penerapan metode-metode di atas, adalah apa yang pernah dipraktekan oleh Khalifah Abu Bakar, ketika beliau diminta kepastian hukum dari seorang nenek dari hal harta warisan yang ditinggalkan oleh cucunya.
Sedangkan contoh lainnya adalah ijtihad yang dilakukan oleh Khalifah Umar r.a. dalam masalah pemberian zakat pada orang-orang muallaf (orang-orang yang perlu di bujuk hatinya). Padahal dalam alquran terdapat ketentuan tersebut yang termaktub dalam Surat at-Taubah (9): 60
Dalam tindakanya tersebut Khalifah umar r.a. melihat pada illat diadakanya ketentuan tersebut. Sehingga ketika illat itu tidak ada maka ketentuan tersebut tidak di berlakukaanya. Dengan demikian tidak mengherankan para ulama Ushul fiqh menggunakan madzhab sahabat sebagai sumber hukum. Karena dianggap sesuai dengan kondisi dan situasi di masa itu. Sehingga ada satu kaidah bahwa “Al-hukmu yaduru ma’al illat”, suatu hukum bergulir bersamaan dengan illat.
Walaupun apa yang dilakukan oleh Umar jelas-jelas tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh surat at-Taubah ayat 60, hal itu bukan berarti tindakan dia bertentangan dengan apa yang di titahkan oleh ayat tersebut, melainkan suatu tindakan yang sesuai dengan masa di mana pemberian zakat tersebut tidak di perlukan lagi. Karena alasan pemberian zakat kepada muallaf adalah untuk meluluhkan hati mereka di mana hal itu sangat di butuhkan sebelum islam menjadi kuat. Sedangkan pada masa Umar r.a umat islam sudah begitu kuat sehingga tujuan tersebut telah hilang. Ketika suatu alasan hukum itu telah hilang, maka hukum tersebut juga tidak di berlakukan.
Dinamika pemikiran para sahabat didorong oleh semakin luasnya daerah penyebaran Islam yang diikuti dengan munculnya berbagai permasalahan yang rujukan hukumnya belum ada secara jelas dalam alqur’an maupun hadis. Kondisi inilah yang mendorong para sahabat melakukan penafsiran hukum untuk menjelaskan persoalan hokum yang dihadapkan kepada mereka.
Salah satu alasan perbedaan ini muncul karena berbedanya pendekatan orientasi yang digunakan sehingga terhadap suatu masalah dijelaskan makna hukumnya oleh seorang sahabat di suatu daerah akan berbeda pandangan sahabat lain di daerah lain. Oleh karena itu, pemikiran hukum dalam Islam sejak awal pembentukannya telah mengenal adanya perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha terutama pada masa sahabat sebagai cermin dinamisasi hukum yang merespon perubahan masyarakat. Perbedaan pemikiran hukum di masa sahabat berpengaruh besar terhadap ikhtilaf hukum kaum muslim pada perkembangan selanjutnya.
Perbedaan fiqh di kalangan para sahabat berawal dari prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang belum terjadi di masa Rasulullah sedang kepastian hukumnya belum jelas baik dalam alqur’an maupun hadis. Para sahabat berbeda pendapat tentang otoritas (siapa yang berwenang) menafsirkan naskah jika ada masalah yang tidak dijelaskan dalam alqur’an atau hadis, Dari sini muncul dua pandangan:
1. Kelompok pertama diwakili oleh Ali bin Abi Thalib memandang bahwa otoritas untuk menetapakan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna-makna alqur’an setelah Rasulullah saw wafat dipegang oleh ahli Baith. Hanya merekalah yang menurut nash adalah yang berwenang menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini kemudian dikenal dengan sebutan Ahli al-Baith.
2. Kelompok kedua diwakili oleh Umar bin Khattab yang berpendapat bahwa tidak ada orang tertentu yang ditunjuk oleh Rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi. Alqur’an dan hadis adalah sumber untuk menarik hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat. kelompok ini kemudian dikenal dengan ahli al-Ra’yi.
Sifat berfikir para sahabat yang berkaitan dengan penafsiran nash sangat bervariasi bahkan cenderung menampilkan adu argument, seperti Umar bin Khattab pernah melarang haji tamattu, padahal seara tegas ditetapkan nash. Cara ini kemudian dilakukan pula oleh Usman bin Affan. Tetapi Ali secara demonstrative melakukannya di hadapan Usman. Kata Usman: “Aku melarang manusia melakukan tamattu’ dan engkau sendiri melakukannya”. Jawab Ali: “Aku tidak akan meninggalkan sunnah Rasul hanya karena pendapat seseorang”. Usman berkata; ‘Sesungguhnya laranganku itu hanya ra’yuku saja. siapa yang mau, boleh menjalankannya. Siapa yang tidak mau boleh meninggalkannya”.
Sebab lain dari perbedaan pemahaman dikalangan para sahabat adalah yang berkaitan dengan sunnah. Para sahabat yang mengambil hadis Rasul dan meriwayatkannya berbeda-beda dalam kemampuan serta cara menerima riwayatnya rasul ditanya tentang suatu masalah, ia menghukum dengan hukum tertentu, memerintah atau melarang sesuatu, melakukan sesuatu yang hadir pada peristiwa itu, dan yang tidak mengetahuinya. Sebagian sahabat hadir pada suatu majelis Rasul, sebagian lainnya tidak hadir. Maka setiap orang hanya mengetahui apa yang ia saksikan dan sudah pasti tidak mengetahui apa yang tidak dihadirinya.
Misalnya kasus tidak mandi junub walau bercampur dengan istri dan tidak keluar air. Seseorang datang kepada Umar ibn Khattab dan berkata: “Zaid ibn Tsabit berfatwa bahwa pertemuan dua khitan (tanpa keluar mani) sudah menjadi sebab lainnya kewajiban mandi junub,” kemudian Zaid bin Tsabit ditanya Umar. Zaid menjawab, “Aku tidak mengerjakan itu, tetapi aku mendengar hadis itu dari pamanku”. Hal itu ia tanyakan pula kepada Rifa’ah bin Rafi’, lalu Umar mengumpulkan kaum Anshar dan Muhajirin untuk bermusyawarah. Di antara sahabat berkata, “tidak ada di antara kami yang lebih mengetahui hal ini kecuali Nabi dan para istrinya. Kemudian Umar mengutus sahabat untuk bertanya kepada Hafsah. Hafsah tidak mengetahuinya. Kemudian diutus sahabat lain untuk bertanya kepada Aisyah, Aisyah menjawab, “jika dua khitan telah bertemu wajib keduanya mandi”.
Sikap ijtihad para sahabat lebih mengacu kepada pertimbangan umum walaupun ada nash syar’i. Artinya jika syar’i ada yang bertentangan dengan kepentingan umum, maka tinggalkan nash syarah dan dahulukan kepentingan umum. Misalnya pendapat umar yang menafsirkan hukum karena perubahan zaman tentang jatuhnya talaq tiga dengan satu kalimat. Cara demikian dilakukan Nabi dan Abu Bakar berdasarkan riwayat yang sahih dari Ibnu Abbas. Pada masa Khalifah Umar, ia berpendapat “manusia terlalu terburu-buru di tempat yang seharusnya hati-hati”. Semua orang harus menahan diri untuk tidak mudah melanjutkan thalaq. Umar kemudian menetapkan hukum thalaq tiga dalam satu kalimat.
Terakhir, pengaruh hukum yang paling terasa disebabkan oleh pengaruh politik yang ditinggalkan periode ini adalah pecahnya golongan politik karena urusan khalifah semata-mata yang lambat laun merembet pada soal agama (peristiwa tahkim) dan pada akhirnya umat Islam terpecah menjadi 3 golongan, yaitu Khawarij, Syi’ah dan Ahli Sunnah wal Jamaah.






Filled Under:

0 comments:

leave comment

Semua umpan balik saya hargai dan saya akan membalas pertanyaan yang menyangkut artikel di Blog ini sesegera mungkin.

1. Komentar SPAM akan dihapus segera setelah saya review
2. Pastikan untuk klik "Berlangganan Lewat Email" untuk membangun kreatifitas blog ini
3. Jika Anda memiliki masalah cek dulu komentar, mungkin Anda akan menemukan solusi di sana.
4. Jangan Tambah Link ke tubuh komentar Anda karena saya memakai system link exchange

5. Dilarang menyebarluaskan artikel tanpa persetujuan dari saya.

Bila anda senang dengan artikel ini silahkan Join To Blog atau berlangganan geratis Artikel dari blog ini. Pergunakan fasilitas diatas untuk mempermudah anda. Bila ada masalah dalam penulisan artikel ini silahkan kontak saya melalui komentar atau share sesuai dengan artikel diatas.

Me

Post a Comment