SEJARAH
PENULISAN DAN KODIFIKASI HADITS
A.
Sejarah
Penulisan Hadits
Hadits Adalah sumber ajaran islam kedua
setelah al-Qur’an, yang memiliki peran penting dalam berbagai disipiln dan
dimensi kehidupan.[1][1] Rasuullah SAW
selain meninggalkan wahyu (al-Qur’an) juga as-sunnah (Hadits) sebagai pegangan
dan penuntun umat islam dimanapun dan kapanpun. Walau posisinya nomor dua,
tetapi kedudukan Hadits sangat penting dalam menjelaskan dam menjabarkan
pesan-pesan atau perintah dan larangan yang di tegaskan oleh al-Qur’an.
Hal lain yang dapat dikutip sebagai
bukti ketidakontetikan Hadits mengenai larangan penulisan Hadits ialah
pernyataan Nabi pada hari Selasa menjelang akhir hayatnya. Pada hari itu,
ketika para sahabat berkumpul mengelilingi tempat wafatnya Nabi bersabda kepada
mereka:” Bawakan kepada ku kertas dan tinta, sehingga dapat aku tuliskan
sesuatu untuk kalian, yang tidak akan menyebabkan kalian terjerumus kedalam
kekeliruan.” Ada sebagian orang di bawah pimpinan Umar yang menentangnya dengan
mengatakan, “Riwayat ini menunjukan kepada kita bahwa penulisan apapun selain
al-Qur’an bukan saja tidak dilarang, tetapi penulisan itu bahkan penting
menurut pertimbangan Nabi agar ummah tidak terjebak dalam kekeliruan dan
kesesatan.
1.
Sekitar
Penulisan Hadits
Mengkaji tentang seputar penulisan
hadis, setidaknya akan kita jumpai dua perspektif yang berbeda. Perspektif yang
pertama melarang penulisan hadis dengan memakai dasar kepada hadis yang di
yakini dari Rasul. Sementara perspektif kedua, mengatakan bahwa penulisan
hadits pada Masa Nabi di perbolehkan dengan bersumber pula pada hadits Nabi.
Al-Nawawi dalam bukunya yang berjudul
al-Minhaj syarh shahih muslim ibn al-Hajjaj
menjelaskan bahwa ada beberapa riwayat tentang pelarangan menulis hadits
pada masa Rasulullah Saw. Salah satu hadits yang di yakini dari Rasulullah saw
yang di riwayatkan oleh Abu sa’id al-Khudri.
Artinya : Jangan kamu sekalian menulis
sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu dariku selain al-Qur’an
hendaklah ia menghapusnya.
Sebaliknya, disamping ada riwayat yang
melarang penulisan hadits, ada juga yang membolehkannya.Ibn Hajar al-‘Askalani
dalam bukunya Fath al-Bari Syarh al-Bukhari di katakan bahwa riwayat yang
membolehkan itu berasal dari Abu Hurairah. Periwayatn ini, berkaitan dengan
terjadinya “ Fath al-Makkah”. Pada waktu itu, Rasulullah Saw berdiri untuk
menyampaikan Khutbah kepada penduduk Makkah, ketika dalam penyampain ada
seorang dari Yaman berdiri bernama Abu Syah, tiba-tiba berkata; Iya Rasulullah
Saw!, tuliskan (Khutbah tersebut ) Untukku, maka Rasulullah Saw berkata kepada
sahabat; tuliskan Khutbah ini untuknya!
Penjelasan lain yang di ungkapkan oleh
Hasbi al-Shidiqi, merujuk kepada kitab” al-Madkhal” yang di riwayatkan oleh
Ahmad dab Baihaqi dari Abu Hurairah;
Artinya : Tidak seorang dari sahabat
Nabi yang demikian banyak ( Lebih mengetahui) hadits Rasull dari padaku, selain
Abdullah Ibn Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak
menulisnya.
Masih dalam penjelasan al-Syidiqi,
bahwa ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Ali mempunyai sebuah Shahifah, di
tulis di dalamnya hukum-hukum ayat yang di beratkan kepada keluarga, dan
lain-lain. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa menurut sebuah riwayat, Anas ibn
Malik juga mempunyai sebuah buku catatan.
Penjelasan yang hampir senada juga di
kemukakan Zuhdi, yang artinya: “Tulislah dariku, demi dzat ( Tuhan ) yang
jiwaku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulut ku kecuali yang (haq).
Hadits tersebut, merupakan sebuah
jawaban terhadap pertanyaan Abdullah Ibn ‘Amr bin ‘Ash tentang penulisan
sunah-sunah. Sementara al-Shidiqi, menjelaskan riwayat tersebut bahwa selain
Nabi sendiri pernah mengirim urat kepaa sebagian pegawainya menerangkan
kadar-kadar zakat Unta dan Kambing. Dan pernah dengan tegas Nabi memerintahkan
sahabat menulis Hadits.
Secara dhahir, dua versi riwayat di
atas betul-betul bertentangan, karena itu para ulama mengambil suatu pendekatan
untuk mengkompromikan atau mendamaikan (al-Jam’u) antara keduanya. Salah satu
cara untuk mengambil jalan tengah dari versi yang berbeda tersebut adalah
dengan cara tarjih, yakni mengambil salah satu riwayat yang terkuat dari kedua
riwayat tersebut.
Pendekatan pertama, seperti yang
tertera dalam kita Ibn Hajar bahwa langkah yang harus di tempuh adalah dengan
cara mengkritis sanad atau rawinya. Sedangkan riwayat yang berkenaan dengan
larangan penulis Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri merupakan
salah satu Hadits yang sanadnya Mauquf, yakni terhenti sampai Abu Sa’id
al-Khudri.
Pendekatan kedua, sebagaimana yang
termaktub dalam kitab Ushul al-Hadits bahwa perlu di lakukan sebuah langkah
pendamaian Hadits yang bertentangan Hadits riwayat Abu Sa’id al-Khudri,
sebetulnya di tujukan kepada mereka yang menulis Hadits dan al-Qur’an dalam
satu satu Shahifah, sebab selain mereka mendengar ayat yang di turunkan juga
mendengarkan pebafsiran yang di lukan oleh Nabi, sehingga kalau di tulis dalam
satu shahifah akan tercampur.
Penekatan ketiga, dalam Ushul al-Hadits
dikatakan bahwa larangan menulis Hadits di tujukan keoada mereka yang mempunyai
hafalan yang luar biasa, sehingga kalu di bolehkan menulis Hadits, dihawatirkan
selalu bergantung pada tulisan, sehingga keringanan (Rukshah) menulis Hadits,
hanya di tunjukan kepada mereka yang lemah hafalannya.
Dari ketiga pendekatan yang di lakukan
oleh ulama tersebut, al-Khatib mengambil sebuah konklusi bahwa pendekatan
pertama tidak dapat diterima. Penolakan al-Khatib terhadap Hadits itu beralasan
bahwa sanad Haditsnya masih belum jelas, bahkan sebagian Imam Hadits mengatakan
Mauquf. Sehingga al-Khatib bependirian bahwa larangan tersebut berlaku kepada
mereka yang menuis al-Qur’an dan Hadits dalam satu Shahifah seperti pada
pedekatan kedua. Larangan Rasulullah SAW itu beralasan bahwa hanya di
khawatirkan bahwa akan sibuk dengan Hadits, sementara penulisan al-Qur’an di
tinggalkan. Begitu pula dengan keringanan (Rukshah), itu bersifat umum (‘Am)
dan larangan bersifat khusus (Khas).
B.
Kodifikasi
Hadits.
Kondifikasi atau taswin Hadits, artinya
pencatatan, penulisan, atau pembukuan Hadits. Secara individual, seperti
diuraikan oleh para sahabat sejak zaman Rasul SAW. Akan tetapi yang dimaksud
pembahasan disini ialah kondifikasi secara resmi bedasarkan perintah khalifah, dengan
melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakukan
secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada
masa sebelumnya.
Kegiatan ini di mulai pada masa
pemerintahan islam di pimpin oleh khalifah Umar bin Abdul al-Aziz (Khalifah
kedelapan dari khalifahan Bani Umayah), melalui intruksinya kepada Abu Bakar
bin Muhammad bin Hazm (gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar
memperlihatkan dan mengumpulkan Hadits dari para ulama Madinah yang berbunyi:
ﺃﻧﻇﺮﻮﺍ ﺤﺪﻴﺚ ﺮﺴﻮﻞ ﺍﻠﻠﻪ ﺻﻟﻰ ﺍﻟﻟﻪ ﻋﻟﯿﻪ ﻮﺴﻟﻡ ﻓﺎﻛﺗﺑﻭﻩ ﻓﺈﻧﻰ ﺧﻓﺖ
ﺪﺭﻮﺲ ﺍﻠﻌﻟﻡ ﻮﺫﻫﺎﺐ ﺃﻫﻟﻪ(ﻭﻓﻰ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﺬﻫﺎﺐ ﺍﻟﻌﻟﻣﺎﺀ) ﻭﻻ ﺗﻗﺑﻞ ﺇﻻ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻟﻨﺑﻲ ﺼﻟﻰ ﺍﻟﻟﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺳﻟﻡ
“Perhatikan
atau periksalah Hadits-Hadits Rasul SAW kemudian tulislah! Aku khawatir dan
lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ahlinya. Menurut suatu riwayat
disebutkan “meninggalnya para ulama, dan janganlah kamu terima kecuali Hadits
Rasul SAW.[2][2]
1.
Latar belakang
pemikiran munculnya usaha kodifikasi Hadits.
Ada tiga hal pokok mengapa khalifah
Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijaksanaan seperti ini:
Pertama, ia khawatir hilangnya
Hadits-hadits, dengan meninggalnya para ulama dimedan perang, ini faktor yang paling utama sebagaimana terlihat pada
naskah surat-surat yang dikirimkam kepada para ulama lainnya.
Kedua, ia khawatir akan tercampurnya
antara Hadits-hadits yang Shahih dengan Hadits yang palsu.
Ketiga, bahwa dengan semakin meluasnya
daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan
yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.
Peranan Umar bin Abdul Aziz dapat pula di kemukakan disini bahwa ia selain
terkenal sebagai khalifah plopor yang memerlukan intruksi untuk membukuka
Hadits, secara pribadi ia juga merupakan aset dan mengambil bagian dalam
kegiatan ini menurut beberapa riwayat, ia turut terlibat mendiskusikan
Haits-hadits yang sednag dihimpun. Di samping itu, ia sendiri memiliki beberapa
tuliosan tentang Hadits-haits yang diterimanya.
2.
Pembukaan
Hadits pada kalangan Tabi’in dan Tabi’at setelah Ibn syihab al-Zuhri
Di antara para ulama setelah al-Zuhri,
ada ulama ahli hadits yang berhasil menyusun kitab Tadwin, yang bisa di
wariskan kepada generasi sekarang, yaitu Malik bin Anas (97-179 H), di Madinah
dengan kitab hasil karyanya bernama Al-Muath tha’. Kitab tersebut selesai di
susun pada tahun 124 H dan para ulama menilainya sebagai kitab Tadwin yang
pertama.
Jadi kenyataan di atas terlihat adanya
garis pembeda antara kariya-kariya ulama sebelum al-Zuhri dengan karya-karyanya
setelahnya. Karya ulama setelah al-Zuhri, yang tidak lepas dari peranan
al-Zuhri sendiri, dapat mewariskan buah karyanya dan tetap terpelihara sampai
sekarang. Sedangkan karya ulama-ulama sebelumnya hanya sampai di tangan-tangan
muridnya dan tidak dapat di wariskan kepada generasi yang lebih jauh
C.
Ilmu Hadits dan
Sejarah Pembukuannya
1.
Hadits pada
Masa Rasulullah SAW
Priode Rasul SAW merupakan priode
pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hadits. Priode ini terhitung cukup
sinkat bila dibandingkan dengan masa-masa berikutnya.
Masa ini berlangsung selama 23 tahun,
mulai tahun 13 sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 masehi sampai dengan
tahun 11 hijriah bertepatan dengan tahun 632 masehi masa ini merupakan kurun
waktu turun wahyu (“ashar al-wahyi) dan sekaligus sebagai masa pertumbuhan
Hadits.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada
Rasul dijelaskan melalui perkataan (aqwal), perbuatan 9afal), dan ketetapannya
(taqrir) di hadapan para sahabat. Apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan
oleh mereka merupakan pedoman bagi amalih dan ‘ubudiah mereka sehari-hari.
Dalam hal ini Rasul SAW. Merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat karena
ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah yang berbeda
dengan manusia lainnya.[3][3]
Rasul hidup di tengah-tengah masyarakat
sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tak
ada protokol-protokolan mereka yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau.
Nabi menggauli mereka, di rumah, di
masjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar.
Seluruh perbuatan nabi, demikian juga
seluruh ucapan dan tutur-kata beliau menjadi tumpuan menjadi perhatian para
sahabat. Segala gerak gerik beliau menjadi pedoman hidup.
Berdasarkan kepada keseluruhan meniru
dan meneladani beliau, berganti-gantilah para sahabat yang jauh rumah dari
masjid, mendatangi majlis-majlis Nabi.[4][4]
Jadi para sahabat menerima Hadits
(syari’at) dari Rasul SAW, ada kala langsumg dari beliau sendiri, yakni mereka
langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang di
majukan oleh seseorang lalau Nabi menjawabnya, atau karena Nabi sendiri yang
memulai pembicaraan, ada kala tidak langsung yaitumereka menerima dari sesama
sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyusuh seseorang bertanya
kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya.
1) Beberapa
petunjuk Rasulullah SAW.
Dalam suatu majlis ilmu Rasulullah SAW
adalah guru atau pembina bagi
sahabatnya.Beliau mengajarkan segala aspek ajaran Allah SWT. Sesuai dengan
firmannya dalam beberapa ayat antara lain dalam surat al_Qalam ayat 4, an_Nisa
ayat 113, dan al-jum’ah ayat 2. Disini terjalin hubungan yang sangat harmonis
antara kedua belah pihak.
Untuk memberikan peningkatan kualitas
para sahabat dalam menerima dan menyampaikan ajaran, Rasul SAW menyampaikan
beberapa petunjuk dan spirit kepada mereka. Banyak sabda-sabdanya Abu Hurairah
misalnya, beliau bersabda, bahwa siapa saja kefahaman dalam soal agama. Pada
Hadits lain disebutkan, ﺑﻠﻎ ﻋﻧﻡ ﻭﻠﻭ ﺃﻴﺔ atau ﻭﻠﻭ ﺣﺪﻳﺚ
(sampaikanlah dariku meskipun hanya satu Hadits). Dalam Hadits riwayat
Ath_Thabrani juga disebutkan, yang artinya: “jadilah pengajar, atau pelajar,
atau pendengar, atau yang mencintai ilmu.”
Rasul SAW juga sering menyampaikan
doa-doanya kepada siapa saja yang menyampaikan ajarannya, agar dibukakan pintu
hatinya serta mendapat imbalan dari padanya (H.R Ahmad dari Ibn Mas’ud). Dalam
beberapa sabdanya beliau juga menyampaikan wasiat-wasiatnya untuk selalu
menyampaikan Hadits kepada orang lain. Selain itu, Rasul juga menyatakan
ketinggian kedudukan siapa saja yang belajar dan mengajarkan ajaran-ajarannya,
sehingga dinilai sebagai seorang mujahid
fi sabilillah (pejuang Allah).[5][5]
2) Cara
menyampaikan Hadits.
Ada beberapa teknik atau cara Rasul
SAW. Menyampaikan hadits kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi
mereka.
Diriwayatkan oleh al-Bukhary dari Ibn
Mas’ud, ujarnya:
ﻛﺍﻥ ﺍﺍﻧﺑﻲ ﺺﻡ ﻳﺗﺧﻮﻠﻧﺎ ﺒﺎﻠﻤﻮﻋﻇﺔ
ﺗﻟﻭﺍﻠﻣﻭﻋﻇﺔ ﻔﻰ ﺍﻻﻴﺎﻣ ﻛﺮﺍﻫﺔ ﺍﻠﺴﺄﻤﺔ ﻋﻟﻳﻨﺎ
“Nabi
selalu mencari waktu-waktu yang baik buat memberikn pelajaran, supaya kami
tidak bosan kepadanya.”
Pertama melalui para jama’ah pada pusat
pembinaannya yang disebut majlis al-Timi, melalui majlis ini para sahabat
memperoleh banyak peluang untuk menerima Hadits, sehingga mereka berusaha untuk
selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
Kedua dalam banyak kesempatan Rasul SAW
juga menyampaikan Haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh
para sahabat tersebut disampaikan keoada orang lain. Seperti Hadits-hadits yang
ditulis oleh Abdullah bin Amr bin al-Ash Untuk hal_hal yang sensitif, seperti
yang berkaitan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut
hubungan suami istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya. Begitu juga para
sikap sahbat, jika yang berkaitan dengan soal diatas, melalui istri-istrinya.
Ketiga, melaui ceramah atau pidato di
tempat terbuka seperti ketika haji wada’ dan futtuh Makkah.
Keempat, melalui perbuatan langsung
yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musyahadah), seperti yan berkaitan
dengan praktik-praktik ibadah dan mua’amalah.
Ada suatu keistimewaan pada masa ini
yang membedakan dengan masa lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secra
langsung memperoleh Hadits SAW, sebagi sumber Hadits, Antara Rasul SAW, dengan
mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit
pertemuannya. Tempat-tempat yang digunakan untuk pertemuan dan mendapatkan pengajaran dari
Rasul SAW seperti: mesjid, rumah
kediamannya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar), dan ketika muqim
(berada dirumah).[6][6]
Ada beberapa tujuan Rasul SAW
menyampaikan Hadits kepada para sahabat, diantaranya ialah: Pertama, karena ia bermaksud menjelaskan
kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT. Kedua , ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu
peristiwa yang dilihat dan dialaminya sendiri. Ketiga, bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa
yang terjadi pada para sahabat yang ditanyakan kepadanya. Keempat, bermaksud menjelaskan kepastian hukum yang terjai pada
masyarakat yang disaksikan oleh sahabat. Kelima,
bermaksudkan meluruskan akidah yang salah satu tradisi yang tidak sejalan
dengan ajaran islam.[7][7]
3) Keadaan para
sahabat dalam menerima dan menguasai Hadits
Dalam perolehan dan penerimaan Hadits,
antara satu sahabat dengan sahabat yang lainnya tidak sama. Ada yang memiliki
lebih banyak ada yang sedang, dan ada yang sedikit. Hal ini terjadi, disamping
karena berkaitan dengan bervariasinya teknik dan tempat-tempat yang digunakan,
juga tergantung kepada beberapa hal antara lain; Pertama, perbedaan mereka
dalam soal kesempatan bersama Rasu SAW. Kedua, perbedaan dalam soal kesanggupan
mereka untuk selalu bersama Rasul; Ketiga, perbedaan mereka dalam soal hafalan
dan kesanggupan bertanya kepada sahabat lain; Keempat, perbedaan mereka karena
berbedanya waktu islam dan jarak tempat tinggal dan majlis Rasul SAW. Dan
Kelima, pebedaan kemampuan mereka dalam keterampilan menulis, untuk menulis
Hadits.
Ada beberapa orang sahabat yang
tercatat banyak menerima Hadits ari Rasul SAW dengan beberapa penyebabbnya. Di
antaranya ialah:
Pertama, para sahabat yang termasuk
kelompok as-sabiqan al-awwalun (yang
mula-mula masuk islam), seperti Abu Bakar bin ash-shiddiq, Umar bin
al-khathab,Usman bin affan, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Mas’ud. Mereka
banyak menerima Hadits dari Rasul SAW. Karena lebih awal msuk islam dari
sahabat-sahabat lainnya.
Kedua, umahat al-mukminin (istri-istri
Rasul SAW), sperti Siti Aisyah dan Ummu salamah. Mereka secara pribadi lebih
dekat dengan Rasul SAW. Hadits yang diterimanya, seperti yang berkaitan dengan
soal-soal pribadi, keluarga dan tata cara pergaulan suami istri.
Ketiga, para sahabat yang dekat dengan
rasul SAW. Hadits yang diterimanya, seperti Abdullah Amr bi al-‘Ash.
Keempat, para sahabat yang meskipun
tidak lama dengan Rasul SAW, akan tetapisangat efisien memanfaatkan setiap
peluang atau kesempatan, dan banyak bertanya kepada sahabat yang lainnya secara
sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
Kelima, para sahabat yang secara
sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW. Yang banyak bertanya kpada sahabat
lain, dan dari sudut usianya tergolong lebih lama dari wafat Rasul SAW. Seperti
Anas bin malik, dan Abdullah binAbbas.[8][8]
4) Pemeliharaan
Hadits dalam Hafalan dan Tulisan
a.
Aktifitas
Menghafalan
Untuk pemeliharaan kemurnian dan
mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan Hadits, sebagai sumber ajaran islam,
Rasulullah SAW mengambil kebijakan yang berbeda. Terhadap al-Qur’an beliau
secara resmi memberi intruksi kepada sahabat tertentu supaya menulis selain
menghafal. Sedang terhadap Hadits perinth resmi itu hanya untuk menghafal dan
menyampaikannya kepada orang lain. Penulisan resmi seperti halnya al-Qur’an
tidak diperkenankan Rasul.
Pertanyaan yang muncul ialah mungkinkah
Hadits yang jumlahnya sangat banyak itu terpelihara dalam hafalan para sahabat.
Jawabannya, ialah;” tentu sangat mungkin.” Para sahabat tentu saja melakukanhafalan-hafalan
itu tidak saja dilakukan dengan cara bekerja sama seperti halnya dilakukan oleh
Umar bin Khatab dengan Abu Musa al-Asy’ari, atau bahkan kelompok-kelompok, yang
antara satu dengan yang lainnya saling mengingatkan. Bekerja sama ini dilakukan
mereka terkadang sampai subuh.
b.
Aktifitas
mencatat dan menulis Hadits.
Diantara sahabat yang melakukan
penulisan Hadits dan catatan Hadits yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh
rasul SAW, sehingga diberi nama ash-Shahifa as-shadiqah. Menurut suatu riwayat
diceritakan, bahwa orang-orang Quraisy mengartikan sikap Abdullah bin Amr,
karena sikapnya mereka berkata: “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari
Rasul, padahal Rasul itu manusia disampaikannya kepada Rasul SAW, dan seraya
beliau menjawab dengan tegas.
ﺃﻛﺗﺏ
ﻘﻮﺍﻟﺬﻱ ﻧﻓﺳﻰ ﺑﻴﺪﻩﻤﺍ ﻴﺧﺭﺥ ﻣﻧﻪ ﺇﻻ
ﺍﻟﺣﻖ (ﺮﻮﺍﻩﺍﻟﺑﺧﺍﺭﻱ)
Artinya: “Tulislah ! Demi zat yang
diriku berada pada kekuasaan-Nya tidak ada yang keluar dari padanya kecuali
yang benar.”[9][9]
Demikian penegasan Rasulullah SAW. Yang
menunjukan, bahwa menulis Hadits yang sifatnya perorangan dapt diberikan. Di
sisi lain menunjukan pula, bahwa apapun yang disampaikannya, adalah benar dan
kebenarannya al-Hadits adalah dijamin oleh Allah melalui al-Qur’an.
Mengenai latar belakang ia menulis
Hadits, diceritakan bahwa ketika ia bersama para sahabat lain dikediamannya
rasulullah SAW. Ia mendengar Hadits tentang ancaman bagi yang mendustakannya
Hadits. Maka ketika slesai acara ini ia bertanya kepada para sahabat terhindar
dar i ancaman itu? Mereka
menjawab:”Semua yang kami dengar dari Rasul sudah ditulis dalam catatn kami.”
Jawaban para sahabat ini memberikan motifasi baginya untuk melakukan penulisan
Hadits yang diterimanya.
2.
Hadits pada
Masa Sahabat
Priode kedua
sejarah perkembangan Hadits, adalah pada masa ahabat, khususnya masa khulafa’
ar-rasyidin (Abu Bakar Shiddiq, Umar bin al-Khathab, Usman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib). Masa ini terhitung sejak tahun 11 H sampai dengan 40 H, yang
disebut juga dengan masa sahabat besar (Kibarus shahabah).
Pada masa sahabat besar ini perhatian
mereka masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Dengan
demikian, maka periwayatan Hadits belum begitu berkembang, bahkan mereka
berusaha membatasi periwayatan Hadits tersebut. Oleh karena itu, masa ini oleh
para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukan adanya pembatasan atau
memperketat periwayatan (at-tsabur wa
al-iqlal ar-riwayah).
a)
Memelihara
Amanah Rasul SAW.
Para sahabat, sebagai generasi pertama
yang menerima amanah terbesar dari kelangsungan syariat islam, adalah menerima
dan melaksanakan segala amanah Rasulullah. Amanah itu esensinya tertuang pada
al-Qur’an dan Hadits sebagaimana
sabdanya ketika menjelang akhir kerasulannya yang berbunyi:
ﺘﺮﻛﺖ ﻓﻴﻛﻢ ﺸﻴﺌﻴﻦ ﻟﻦ ﺗﺿﻟﻮﺍ ﺃﺑﺪﺍ ﻣﺍ ﺇﻦ
ﺗﻣﺴﻜﺗﻡ ﺑﻬﻣﺍ ﻜﺗﺍﺐ ﺍﻟﻟﻪ ﻮﺴﻧﺔ ﻮﺮﺴﻮﻞ ﺍﻟﻟﻪ
(ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺣﻜﻢ ﻋﻥ ﺃﺑﻰ ﻫﺮﻴﺮﺓ)
“Aku
tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang
kepada keduanya,yaitu kitab Allah (al-Qur’an dan Sunnahku). (H.R Al-Hakim dari
Hurairah).
Siapa saja yang berpegang pada keduanya
(al-Qur’an dan Hadits) secara erat bersama-sama ia mendapatkan jaminan Rasul
SAW tidak akan hidup terseat, baik didunia maupun diakhirat. Sebaliknya, siapa
yang melepaskan diri dari keduanya atau hanya berpegang kepada salah satunya,
merupakan penyimpangan pada salah satu merupakan penyimpangan dari amanah, yang
berarti ia akan tersesat dijalan.
b) Kehati-hatian
para Sahabat dalam Menerima dam Meriwayatkan Hadits.
Setelah Rasul wafat, perhatian para
sahabat terfokus usaha menyebarluaskan dan memelihara al-Qur’an. Al-Qur’an yang
telah dihafal oleh ribuan penghafalnya dengn teratur, dan telah ditulis dalam
berbagai shuhuf oleh para penulisnya (baik nabi SAW sendiri maupun untuk
kepentingan masing-masing).
c)
Mushaf-mushaf itu disimpan dimadinah satu buah, yang
dinamai dengan mushaf al-imam. Sedangkan, yang empat lagi masing-msing disimpan
dimekkah, basrah, syiriah, dan kuffah.
Perlu pula dijelaskan disini, bahwa
pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun Hadits dalam suatu
kitab seperti halnya al-Qur’an. Hal ini disebabkan, antara lain: Pertama agar
tidak memalingkan perhatian umat islam dalam mempelajari al-Qur’an. Kedua,
bahwa para sahabat yang banyak menerima Hadits dan Rasul SAW. Sudah tersebar
keberbagai daerah kekuasaan masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga
dengan kondisi seperti ini ada kesulitan mengumoulkan mereka secara lengkap.
Ketiga, bahwa soal membukukan Hadits, dikalangan para sahabat sendiri terjadi
perselisihan soal lafad dan sahihnya.
d) Upaya para
Ulama Men-taufikan Hadits Tentang Larangan Menulis Hadits.
Perselisihan para ulama dalam soal
pembukuan Hadits berpengkat pada adanya dua kelompok Hadits, yang dari sudut
zhahirnya nampak adanya kontradiksi. Kelompok Hadits yang pertama, menunjukan
adanya larangan Rasul SAW. Menuliskan Hadits, yang diantaranya berbunyi:
ﻻ ﺘﻛﺘﺑﻮﺍ ﻋﻧﻰ ﻮﻤﻦ ﻜﺘﺐ ﻋﻧﻰ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻘﺮﺃﻦ
ﻔﺍﻴﺤﻪ ﻮﺤﺪﺜﻮﺍ ﻋﻧﻰ ﻭﻻ ﺗﺮﺥ ﻮﻤﻦ ﻜﺗﺐ ﻋﺍﻲ ﻣﺗﻌﻤﺪﺍ ﻔﺍﻴﺘﺑﻮﺍ ﻤﻗﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻠﻨﺍﺮ (ﺮﻮﺍﻩ ﻤﺴﻠﻡ)
Artinya: “Janganlah kamu sekalian menulis apa saja dariku selain al-Qur’an. Siapa
yang telah menulis dariku selain al-Qur’an hendaklah dihapus. Ceritakan saja
apa yang diterima diriku, itu tidak mengapa siapa yang dengan sengaja berdusta
atas namaku, ia niscaya menempati tempat duduknya dari api neraka”. [10][10]
Sedangkan Hadits kelompok kedua,
beberapa Hadits seperti riwayat Abdullah binAsh dan Hadits tentang Abu Syahm.
Menurut An-Nawawi dan As-Suyuthi, bahwa
larangan tersebut dimaksudkan bagi orang yang kuat hafalannya, sehingga tidak
ada kekhawatiran terjadinya lupa. Akan tetapi bagi orang yang khawatir lupa
atau kurang kuat ingatannya diperbolehkan mencatatnya.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani,
larangan Rasul SAW. Menuliskan Hadits adalah ketika al-Qur’an diturunkan. Ini
karena, ada kekhawatiran tercampurnya antara ayat al-Qur’an dengan Hadits,
kemudian menurutnya, larangan ini dimaksudkan juga untuk tidak menulis
al-Qur’an dalam satu Shuhuf untuk mencatat wahyu, penulisan Hadits adalah
dibolehkan.
Selain pendapat ketiga diatas, masih
ada lagi pendapat-pendapat lainnya, yang jika diambil kesimpulan, maka (sebagai
mana yang dilakukan oleh ‘Ajaj al-Khatib) akan ditemukan sekitar empat
pendapat, seperti terlihat dibawah ini.
Pertama, menurut sebagian ulama bahwa
Hadits dari Abu Said al-Khudri bernilai mauquf, karenanya tidak dapat dijadikan
hujjah. Menurut ‘Ajaj al-Khatib, pendapat ini tidak dapat diterima, karena
Hadits Abu Sa’id al-Khudri dan Hadits-hadits yang semakna dengannya adalah
ma’ruf, artinya Hadits tersebut shahih yang berarti dapat dijadikan hujah.
Kedua, yang lain menyebutkan bahwa
larangan menulis Hadits terjadi pada periode awal islam. Hal ini karena adanya
keterbatasan tenaga dan fasilitas. Maka sudah cukup memungkinkan penulisan
Hadits dibolehkan. Menurut kelompok ini, Hukum tentang larangan Hadits berubah
menjadi mubah. Mereka juga memandang kemungkinan larangan penulisan Hadits
dimaksud jika disatukan pada satu suhuf dengan al-Qur’an sebagaimana
dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.
Ketiga, ada ulama yang memandang bahwa
larangan tersebut pada dasarnya bagi orang yang kuat hafalannya. Hal ini untuk
menghilangkan ketergantungan yang lemah hafalannya, seperti Abu Syah atau yang
khawatir lupa seperti Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash, dan beberapa sahabat lainnya.
Keempat, ada juga yang memandang bahwa
larangan tersebut dalam bentuk umum, yang sasarannya masyarakat banyak, akan
tetapi untuk orang tertentu yang mempunyai keahlian menulis dan membaca, dan
tidak ada kekhawatiran terjadinya kekeliruan dalam menulisnya, adalah
dibolehkan.
Perlu diketahui, bahwa Abu Sa’id
al-Khudri sendiri 9sahabat yang meriwayatkan Hadits tentang larangan Rasul
menuliskan hadits seperti disebutkan di atas), sebagaimana dikatakan al-Khatib
al-Bhagdadi ternyata memiliki catatan hadits yang diterimanya dari Rasullah
SAW.
3.
Hadits pada
Masa Tabi’in
a.
Sikap dan
perhatian para Tabi’in terhadap Hadits.
Sebagaimana para sahabat, para Tabi’in
juga cukup berhati-hati dalam meriwayatkan Hadits. Hanya saja beban mereka
tidak perlu berat jika dibandingkan dengan yang dihadapi para sahabat. Pada
masa ini Al-Qur’an telah dikumpulkan dalam mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada
masa akhir periode khulafa’ ar-rasyidin (masa khalifah Utsman bin Affan) para
sahabat ahli Hadits telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Ini
merupakan kemudahan bagi para Tabi’in untuk mempelajari Hadits-Hadits dari
mereka.
Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani
Umayah, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi makkah, Maddinah, Basrah, Syam,
Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol. Sejalan
dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam itu, yang berarti juga
meningkatkannya penyebarannya periwayatan Hadits (intisyar ar-riwayah).
Hadits-Hadits yang diterima oleh para
tabi’in, seperti telah disebutkan, ada yang dalam bentuk catatan atau tulisan
dan ada yang harus dihafal disamping dalam bentuk yang sudah berpolakan dalam
ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua
bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu Hadits pun yang
tercecetatau terlupakan.
b.
Pusat-pusat
kegiatan Pembinaan Hadits.
Sesuai dengan tersebarnya para sahabat
wilayah-wilayah kekuasaan islam, maka tercatat beberapa kota sebgai pusat
pembinaan dalam periwayatan Hadits., sebagai tempat para tujuan para tabi’in
dalam mencari Hadits, dan pada gilirannya mejadi kegiatan para tabi’in dalam
meriwayatkan Hadits-Hadits tersebut kepada para muridnya (tabi’in). Kota-kota
tersebut ialah Madinah al-Munawwarah, Makkah, al-Mukkaramah, Kuffah, Basrah,
Syam, Mesir, Magrib, Andalus, Yaman, dan Khurasan.
Para sahabat yang membina Hadits di
Makkah yaitu: Mu’adz bin Jabal, Atab bin Asid, Harits bin Hisyam Utsman bin
Thalhah dan Salim bin Abdillah bin Umar.
Para sahabat yang membina Hadits di
Kaffah yaitu: Ali bin Abi Thalib, Sa’id bin Abi Waqas, dan Abdullahbin Ma’ud
diantara para Tabi’in yang muncul, ialah ar-Rabi’ bin Qaim, Kamal bin Zaid
an-Nikha’i bin Abi Rabbah, Thawus bin Kaisman dan Irimah Maula Ibn Abbas.
Para sahabat yang membina hadits di
Syam, di antaranya ialah: Abu Ubaidah al-Jarh, Bilal bin Rabbah, Ubadah bin
Shamit, Mu’adz bin Jabal, sa’ad bin Ubadah, Abu Darda Surahbil bin Hasanah,
Kahalid bin Walid, dan Iyadh bin Ganam, tabi’in yang muncul di sini, di
antaranya ialah: Salim bin Abdillah al-Muharibi, Abu Idris al-Khaulani, Abu
Sulaiman ad-Darani, dan Umar bin Hana’i.
Para sahabat yang membina di mesir di
antaranya ialah: Amr bin ‘Ash, Uqbah bin Amir, Kharizah bin Hudzafah, dan
Abdullah bin al-Harits, Sedang para tabi’in yang muncul di sini ialah: Amr bin
al-Harits, Khair bin Nu’aimi al-Ja’far, Abdullah bin Sulaiman ath Thawil.
Para sahabat yang membina Hadits di
Yaman, antara lain: Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari. Para tabi’in yang
muncul di sini ialah: Hamam bin Munabbih, Wahab bin Munabbih, Thawus dan Ma’mar
bin Rasyid.
Para sahabat yang membina Hadits di
Khurasan, di antaranya ialah: Buraidah bin Husain al-Aslami, al-Hakam bin Amir
al-Gifari Abdullah bin Qasim bin al-Abbas. Sedangkan di antara para tabi’innya
ialah: Muhammad bin Ziyad Muhammadbin Tsabit al-Anshari, dan Yahya bin Shabih
al-Mugri.
c.
Para Penulis
Hadits di Klangan Tabi’in.
Sebagaimana para sahaba, di kalangan
tab’in, baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil, juga melakukan dua hal, yaitu
menghafal dan menulis Hadits, banyak riwayat yang menunjukan, betapa mereka
memperhatikan kedua hal ini.
Tentang menghafal Hadits para ulama
tabi’in sepertiIbn Abi Laila, Abu Aliyah, Ibn Syihab az-Zuhuri, Urwah bin
az-zubair, dan menekankan petingnya menghafal Hadits-Hadits secara terus
menerus. Kata az-Zuhri, sebagaimana dikatakan al-Auzai ‘Hilangnya ilmu itu
karena lupa dan tidak mau mengingat atau menghafalnya.” Kata Alkamah,
sebagaimana dikatakn Ibrahim, bahwa dengan menghafal Hadits, hadits akan
terpelihara.
Tentang menulis Hadits, di samping
melakukan hafalan secara teratur, di antara mereka juga menulis sebagian
Hadits-hadits yang diterimanya, selain itu, mereka juga memiliki catatan atau
surat yang mereka terima lngsung dari para sahabat sebagai gurunya.
d. Perpecahan
Hadits dan Pemalsuan Hadits.
Peristiwa yang cukup menghawatirkan
dalam searah perjalanan Hadits, ialah terjadinya pemalsuan Hadits, yang salah
satu penyebabnya ialah terjadinya perpecahan politik dalam pemerintahan. Dipandang
menghawatirkan, karena merupakan tindakan yang mencemarkan dan menodai
kemurnian Hadits dari dalam, dan ini oleh para pengingkar dan orientasi
dijadikan salah satu alasan kuat untuk melemahkan kedudukan Hadits.
Perpecahan politik itu sebenarnya terjadi
sejak masa sahabat setelah terjadinya perang jamal dan shifin, yaitu ketika
kekuasaan di pegang oleh Ali bin Abi Thalib akan tetapi akibatnya cukup panjang
dan berlarut-larut dengan pecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok, yaitu
Khawarij, Siy’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam
ketiga kelompok tersebut.
Dari persoalan politik tersebut di
atas, langsung atau tidak langsung cukup memberikan pengaruh, positif maupun
negatif terhadap perkembangan Hadits berikutnya. Pengaruh yang langsung
bersifat, ialah munculnya Hadits-hadits palsu (maudlu’) untuk mendukung
kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi
lawannya. Adapun pengaruh yang bersifat positif adalah lahirnya rencana dan
usaha yang mendorong diadakannya kondifkasi atau tadwin Hadits, sebagai upaya
penyelamatan dari kemusnahan dan pemalsuan, yang muncul sebagai akibat dari
perpecahan politik tersebut.
0 comments:
Semua umpan balik saya hargai dan saya akan membalas pertanyaan yang menyangkut artikel di Blog ini sesegera mungkin.
1. Komentar SPAM akan dihapus segera setelah saya review
2. Pastikan untuk klik "Berlangganan Lewat Email" untuk membangun kreatifitas blog ini
3. Jika Anda memiliki masalah cek dulu komentar, mungkin Anda akan menemukan solusi di sana.
4. Jangan Tambah Link ke tubuh komentar Anda karena saya memakai system link exchange
5. Dilarang menyebarluaskan artikel tanpa persetujuan dari saya.
Bila anda senang dengan artikel ini silahkan Join To Blog atau berlangganan geratis Artikel dari blog ini. Pergunakan fasilitas diatas untuk mempermudah anda. Bila ada masalah dalam penulisan artikel ini silahkan kontak saya melalui komentar atau share sesuai dengan artikel diatas.
Post a Comment