Translate this page

Friday, April 12, 2013

SEJARAH PENULISAN DAN KODIFIKASI HADITS





SEJARAH PENULISAN DAN KODIFIKASI HADITS

A.      Sejarah Penulisan Hadits
Hadits Adalah sumber ajaran islam kedua setelah al-Qur’an, yang memiliki peran penting dalam berbagai disipiln dan dimensi kehidupan.[1][1] Rasuullah SAW selain meninggalkan wahyu (al-Qur’an) juga as-sunnah (Hadits) sebagai pegangan dan penuntun umat islam dimanapun dan kapanpun. Walau posisinya nomor dua, tetapi kedudukan Hadits sangat penting dalam menjelaskan dam menjabarkan pesan-pesan atau perintah dan larangan yang di tegaskan oleh al-Qur’an.
Hal lain yang dapat dikutip sebagai bukti ketidakontetikan Hadits mengenai larangan penulisan Hadits ialah pernyataan Nabi pada hari Selasa menjelang akhir hayatnya. Pada hari itu, ketika para sahabat berkumpul mengelilingi tempat wafatnya Nabi bersabda kepada mereka:” Bawakan kepada ku kertas dan tinta, sehingga dapat aku tuliskan sesuatu untuk kalian, yang tidak akan menyebabkan kalian terjerumus kedalam kekeliruan.” Ada sebagian orang di bawah pimpinan Umar yang menentangnya dengan mengatakan, “Riwayat ini menunjukan kepada kita bahwa penulisan apapun selain al-Qur’an bukan saja tidak dilarang, tetapi penulisan itu bahkan penting menurut pertimbangan Nabi agar ummah tidak terjebak dalam kekeliruan dan kesesatan.
1.      Sekitar Penulisan Hadits
Mengkaji tentang seputar penulisan hadis, setidaknya akan kita jumpai dua perspektif yang berbeda. Perspektif yang pertama melarang penulisan hadis dengan memakai dasar kepada hadis yang di yakini dari Rasul. Sementara perspektif kedua, mengatakan bahwa penulisan hadits pada Masa Nabi di perbolehkan dengan bersumber pula pada hadits Nabi.
Al-Nawawi dalam bukunya yang berjudul al-Minhaj syarh shahih muslim ibn al-Hajjaj  menjelaskan bahwa ada beberapa riwayat tentang pelarangan menulis hadits pada masa Rasulullah Saw. Salah satu hadits yang di yakini dari Rasulullah saw yang di riwayatkan oleh Abu sa’id al-Khudri.


Artinya : Jangan kamu sekalian menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu dariku selain al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya.
Sebaliknya, disamping ada riwayat yang melarang penulisan hadits, ada juga yang membolehkannya.Ibn Hajar al-‘Askalani dalam bukunya Fath al-Bari Syarh al-Bukhari di katakan bahwa riwayat yang membolehkan itu berasal dari Abu Hurairah. Periwayatn ini, berkaitan dengan terjadinya “ Fath al-Makkah”. Pada waktu itu, Rasulullah Saw berdiri untuk menyampaikan Khutbah kepada penduduk Makkah, ketika dalam penyampain ada seorang dari Yaman berdiri bernama Abu Syah, tiba-tiba berkata; Iya Rasulullah Saw!, tuliskan (Khutbah tersebut ) Untukku, maka Rasulullah Saw berkata kepada sahabat; tuliskan Khutbah ini untuknya! 
Penjelasan lain yang di ungkapkan oleh Hasbi al-Shidiqi, merujuk kepada kitab” al-Madkhal” yang di riwayatkan oleh Ahmad dab Baihaqi dari Abu Hurairah;


Artinya : Tidak seorang dari sahabat Nabi yang demikian banyak ( Lebih mengetahui) hadits Rasull dari padaku, selain Abdullah Ibn Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya.
Masih dalam penjelasan al-Syidiqi, bahwa ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Ali mempunyai sebuah Shahifah, di tulis di dalamnya hukum-hukum ayat yang di beratkan kepada keluarga, dan lain-lain. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa menurut sebuah riwayat, Anas ibn Malik juga mempunyai sebuah buku catatan.
Penjelasan yang hampir senada juga di kemukakan Zuhdi, yang artinya: “Tulislah dariku, demi dzat ( Tuhan ) yang jiwaku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulut ku kecuali yang (haq).
Hadits tersebut, merupakan sebuah jawaban terhadap pertanyaan Abdullah Ibn ‘Amr bin ‘Ash tentang penulisan sunah-sunah. Sementara al-Shidiqi, menjelaskan riwayat tersebut bahwa selain Nabi sendiri pernah mengirim urat kepaa sebagian pegawainya menerangkan kadar-kadar zakat Unta dan Kambing. Dan pernah dengan tegas Nabi memerintahkan sahabat menulis Hadits.
Secara dhahir, dua versi riwayat di atas betul-betul bertentangan, karena itu para ulama mengambil suatu pendekatan untuk mengkompromikan atau mendamaikan (al-Jam’u) antara keduanya. Salah satu cara untuk mengambil jalan tengah dari versi yang berbeda tersebut adalah dengan cara tarjih, yakni mengambil salah satu riwayat yang terkuat dari kedua riwayat tersebut.
Pendekatan pertama, seperti yang tertera dalam kita Ibn Hajar bahwa langkah yang harus di tempuh adalah dengan cara mengkritis sanad atau rawinya. Sedangkan riwayat yang berkenaan dengan larangan penulis Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri merupakan salah satu Hadits yang sanadnya Mauquf, yakni terhenti sampai Abu Sa’id al-Khudri.
Pendekatan kedua, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Ushul al-Hadits bahwa perlu di lakukan sebuah langkah pendamaian Hadits yang bertentangan Hadits riwayat Abu Sa’id al-Khudri, sebetulnya di tujukan kepada mereka yang menulis Hadits dan al-Qur’an dalam satu satu Shahifah, sebab selain mereka mendengar ayat yang di turunkan juga mendengarkan pebafsiran yang di lukan oleh Nabi, sehingga kalau di tulis dalam satu shahifah akan tercampur.
Penekatan ketiga, dalam Ushul al-Hadits dikatakan bahwa larangan menulis Hadits di tujukan keoada mereka yang mempunyai hafalan yang luar biasa, sehingga kalu di bolehkan menulis Hadits, dihawatirkan selalu bergantung pada tulisan, sehingga keringanan (Rukshah) menulis Hadits, hanya di tunjukan kepada mereka yang lemah hafalannya.
Dari ketiga pendekatan yang di lakukan oleh ulama tersebut, al-Khatib mengambil sebuah konklusi bahwa pendekatan pertama tidak dapat diterima. Penolakan al-Khatib terhadap Hadits itu beralasan bahwa sanad Haditsnya masih belum jelas, bahkan sebagian Imam Hadits mengatakan Mauquf. Sehingga al-Khatib bependirian bahwa larangan tersebut berlaku kepada mereka yang menuis al-Qur’an dan Hadits dalam satu Shahifah seperti pada pedekatan kedua. Larangan Rasulullah SAW itu beralasan bahwa hanya di khawatirkan bahwa akan sibuk dengan Hadits, sementara penulisan al-Qur’an di tinggalkan. Begitu pula dengan keringanan (Rukshah), itu bersifat umum (‘Am) dan larangan bersifat khusus (Khas).

B.       Kodifikasi Hadits.
Kondifikasi atau taswin Hadits, artinya pencatatan, penulisan, atau pembukuan Hadits. Secara individual, seperti diuraikan oleh para sahabat sejak zaman Rasul SAW. Akan tetapi yang dimaksud pembahasan disini ialah kondifikasi secara resmi bedasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada masa sebelumnya.
Kegiatan ini di mulai pada masa pemerintahan islam di pimpin oleh khalifah Umar bin Abdul al-Aziz (Khalifah kedelapan dari khalifahan Bani Umayah), melalui intruksinya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar memperlihatkan dan mengumpulkan Hadits dari para ulama Madinah yang berbunyi:
ﺃﻧﻇﺮﻮﺍ ﺤﺪﻴﺚ ﺮﺴﻮﻞ ﺍﻠﻠﻪ ﺻﻟﻰ ﺍﻟﻟﻪ ﻋﻟﯿﻪ ﻮﺴﻟﻡ ﻓﺎﻛﺗﺑﻭﻩ ﻓﺈﻧﻰ ﺧﻓﺖ ﺪﺭﻮﺲ ﺍﻠﻌﻟﻡ ﻮﺫﻫﺎﺐ ﺃﻫﻟﻪ(ﻭﻓﻰ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﺬﻫﺎﺐ ﺍﻟﻌﻟﻣﺎﺀ) ﻭﻻ ﺗﻗﺑﻞ ﺇﻻ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻟﻨﺑﻲ ﺼﻟﻰ ﺍﻟﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺳﻟﻡ
Perhatikan atau periksalah Hadits-Hadits Rasul SAW kemudian tulislah! Aku khawatir dan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ahlinya. Menurut suatu riwayat disebutkan “meninggalnya para ulama, dan janganlah kamu terima kecuali Hadits Rasul SAW.[2][2]
1.    Latar belakang pemikiran munculnya usaha kodifikasi Hadits.
Ada tiga hal pokok mengapa khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijaksanaan seperti ini:
Pertama, ia khawatir hilangnya Hadits-hadits, dengan meninggalnya para ulama dimedan perang, ini faktor  yang paling utama sebagaimana terlihat pada naskah surat-surat yang dikirimkam kepada para ulama lainnya.
Kedua, ia khawatir akan tercampurnya antara Hadits-hadits yang Shahih dengan Hadits yang palsu.
Ketiga, bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini. Peranan Umar bin Abdul Aziz dapat pula di kemukakan disini bahwa ia selain terkenal sebagai khalifah plopor yang memerlukan intruksi untuk membukuka Hadits, secara pribadi ia juga merupakan aset dan mengambil bagian dalam kegiatan ini menurut beberapa riwayat, ia turut terlibat mendiskusikan Haits-hadits yang sednag dihimpun. Di samping itu, ia sendiri memiliki beberapa tuliosan tentang Hadits-haits yang diterimanya.
2.    Pembukaan Hadits pada kalangan Tabi’in dan Tabi’at setelah Ibn syihab al-Zuhri
Di antara para ulama setelah al-Zuhri, ada ulama ahli hadits yang berhasil menyusun kitab Tadwin, yang bisa di wariskan kepada generasi sekarang, yaitu Malik bin Anas (97-179 H), di Madinah dengan kitab hasil karyanya bernama Al-Muath tha’. Kitab tersebut selesai di susun pada tahun 124 H dan para ulama menilainya sebagai kitab Tadwin yang pertama.           
Jadi kenyataan di atas terlihat adanya garis pembeda antara kariya-kariya ulama sebelum al-Zuhri dengan karya-karyanya setelahnya. Karya ulama setelah al-Zuhri, yang tidak lepas dari peranan al-Zuhri sendiri, dapat mewariskan buah karyanya dan tetap terpelihara sampai sekarang. Sedangkan karya ulama-ulama sebelumnya hanya sampai di tangan-tangan muridnya dan tidak dapat di wariskan kepada generasi yang lebih jauh
C.       Ilmu Hadits dan Sejarah Pembukuannya
1.    Hadits pada Masa Rasulullah SAW
Priode Rasul SAW merupakan priode pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hadits. Priode ini terhitung cukup sinkat bila dibandingkan dengan masa-masa berikutnya.
Masa ini berlangsung selama 23 tahun, mulai tahun 13 sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 masehi sampai dengan tahun 11 hijriah bertepatan dengan tahun 632 masehi masa ini merupakan kurun waktu turun wahyu (“ashar al-wahyi) dan sekaligus sebagai masa pertumbuhan Hadits.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Rasul dijelaskan melalui perkataan (aqwal), perbuatan 9afal), dan ketetapannya (taqrir) di hadapan para sahabat. Apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh mereka merupakan pedoman bagi amalih dan ‘ubudiah mereka sehari-hari. Dalam hal ini Rasul SAW. Merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah yang berbeda dengan manusia lainnya.[3][3]
Rasul hidup di tengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tak ada protokol-protokolan mereka yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau.
Nabi menggauli mereka, di rumah, di masjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar.
Seluruh perbuatan nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur-kata beliau menjadi tumpuan menjadi perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau menjadi pedoman hidup.
Berdasarkan kepada keseluruhan meniru dan meneladani beliau, berganti-gantilah para sahabat yang jauh rumah dari masjid, mendatangi majlis-majlis Nabi.[4][4]
Jadi para sahabat menerima Hadits (syari’at) dari Rasul SAW, ada kala langsumg dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang di majukan oleh seseorang lalau Nabi menjawabnya, atau karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, ada kala tidak langsung yaitumereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyusuh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya.
1)   Beberapa petunjuk Rasulullah SAW.
Dalam suatu majlis ilmu Rasulullah SAW adalah guru atau pembina     bagi sahabatnya.Beliau mengajarkan segala aspek ajaran Allah SWT. Sesuai dengan firmannya dalam beberapa ayat antara lain dalam surat al_Qalam ayat 4, an_Nisa ayat 113, dan al-jum’ah ayat 2. Disini terjalin hubungan yang sangat harmonis antara kedua belah pihak.
Untuk memberikan peningkatan kualitas para sahabat dalam menerima dan menyampaikan ajaran, Rasul SAW menyampaikan beberapa petunjuk dan spirit kepada mereka. Banyak sabda-sabdanya Abu Hurairah misalnya, beliau bersabda, bahwa siapa saja kefahaman dalam soal agama. Pada Hadits lain disebutkan,       ﺑﻠﻎ ﻋﻧﻡ ﻭﻠﻭ ﺃﻴﺔ    atau ﻭﻠﻭ ﺣﺪﻳﺚ (sampaikanlah dariku meskipun hanya satu Hadits). Dalam Hadits riwayat Ath_Thabrani juga disebutkan, yang artinya: “jadilah pengajar, atau pelajar, atau pendengar, atau yang mencintai ilmu.”
Rasul SAW juga sering menyampaikan doa-doanya kepada siapa saja yang menyampaikan ajarannya, agar dibukakan pintu hatinya serta mendapat imbalan dari padanya (H.R Ahmad dari Ibn Mas’ud). Dalam beberapa sabdanya beliau juga menyampaikan wasiat-wasiatnya untuk selalu menyampaikan Hadits kepada orang lain. Selain itu, Rasul juga menyatakan ketinggian kedudukan siapa saja yang belajar dan mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dinilai sebagai seorang mujahid fi sabilillah (pejuang Allah).[5][5]

2)   Cara menyampaikan Hadits.
Ada beberapa teknik atau cara Rasul SAW. Menyampaikan hadits kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi mereka.
Diriwayatkan oleh al-Bukhary dari Ibn Mas’ud, ujarnya:
ﻛﺍﻥ ﺍﺍﻧﺑﻲ ﺺﻡ ﻳﺗﺧﻮﻠﻧﺎ ﺒﺎﻠﻤﻮﻋﻇﺔ ﺗﻟﻭﺍﻠﻣﻭﻋﻇﺔ ﻔﻰ ﺍﻻﻴﺎﻣ ﻛﺮﺍﻫﺔ ﺍﻠﺴﺄﻤﺔ ﻋﻟﻳﻨﺎ
Nabi selalu mencari waktu-waktu yang baik buat memberikn pelajaran, supaya kami tidak bosan kepadanya.”
Pertama melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-Timi, melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima Hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
Kedua dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan Haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikan keoada orang lain. Seperti Hadits-hadits yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin al-Ash Untuk hal_hal yang sensitif, seperti yang berkaitan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya. Begitu juga para sikap sahbat, jika yang berkaitan dengan soal diatas, melalui istri-istrinya.
Ketiga, melaui ceramah atau pidato di tempat terbuka seperti ketika haji wada’ dan futtuh Makkah.
Keempat, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musyahadah), seperti yan berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan mua’amalah.
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakan dengan masa lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secra langsung memperoleh Hadits SAW, sebagi sumber Hadits, Antara Rasul SAW, dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya. Tempat-tempat yang digunakan untuk  pertemuan dan mendapatkan pengajaran dari Rasul SAW  seperti: mesjid, rumah kediamannya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar), dan ketika muqim (berada dirumah).[6][6]
Ada beberapa tujuan Rasul SAW menyampaikan Hadits kepada para sahabat, diantaranya ialah: Pertama, karena ia bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT. Kedua , ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang dilihat dan dialaminya sendiri. Ketiga, bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang terjadi pada para sahabat yang ditanyakan kepadanya. Keempat, bermaksud menjelaskan kepastian hukum yang terjai pada masyarakat yang disaksikan oleh sahabat. Kelima, bermaksudkan meluruskan akidah yang salah satu tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran islam.[7][7]
3)   Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai Hadits
Dalam perolehan dan penerimaan Hadits, antara satu sahabat dengan sahabat yang lainnya tidak sama. Ada yang memiliki lebih banyak ada yang sedang, dan ada yang sedikit. Hal ini terjadi, disamping karena berkaitan dengan bervariasinya teknik dan tempat-tempat yang digunakan, juga tergantung kepada beberapa hal antara lain; Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasu SAW. Kedua, perbedaan dalam soal kesanggupan mereka untuk selalu bersama Rasul; Ketiga, perbedaan mereka dalam soal hafalan dan kesanggupan bertanya kepada sahabat lain; Keempat, perbedaan mereka karena berbedanya waktu islam dan jarak tempat tinggal dan majlis Rasul SAW. Dan Kelima, pebedaan kemampuan mereka dalam keterampilan menulis, untuk menulis Hadits.
Ada beberapa orang sahabat yang tercatat banyak menerima Hadits ari Rasul SAW dengan beberapa penyebabbnya. Di antaranya ialah:
Pertama, para sahabat yang termasuk kelompok as-sabiqan al-awwalun (yang mula-mula masuk islam), seperti Abu Bakar bin ash-shiddiq, Umar bin al-khathab,Usman bin affan, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Mas’ud. Mereka banyak menerima Hadits dari Rasul SAW. Karena lebih awal msuk islam dari sahabat-sahabat lainnya.
Kedua, umahat al-mukminin (istri-istri Rasul SAW), sperti Siti Aisyah dan Ummu salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul SAW. Hadits yang diterimanya, seperti yang berkaitan dengan soal-soal pribadi, keluarga dan tata cara pergaulan suami istri.
Ketiga, para sahabat yang dekat dengan rasul SAW. Hadits yang diterimanya, seperti Abdullah Amr bi al-‘Ash.
Keempat, para sahabat yang meskipun tidak lama dengan Rasul SAW, akan tetapisangat efisien memanfaatkan setiap peluang atau kesempatan, dan banyak bertanya kepada sahabat yang lainnya secara sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
Kelima, para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW. Yang banyak bertanya kpada sahabat lain, dan dari sudut usianya tergolong lebih lama dari wafat Rasul SAW. Seperti Anas bin malik, dan Abdullah binAbbas.[8][8]
4)   Pemeliharaan Hadits dalam Hafalan dan Tulisan
a.    Aktifitas Menghafalan
Untuk pemeliharaan kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan Hadits, sebagai sumber ajaran islam, Rasulullah SAW mengambil kebijakan yang berbeda. Terhadap al-Qur’an beliau secara resmi memberi intruksi kepada sahabat tertentu supaya menulis selain menghafal. Sedang terhadap Hadits perinth resmi itu hanya untuk menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain. Penulisan resmi seperti halnya al-Qur’an tidak diperkenankan Rasul.
Pertanyaan yang muncul ialah mungkinkah Hadits yang jumlahnya sangat banyak itu terpelihara dalam hafalan para sahabat. Jawabannya, ialah;” tentu sangat mungkin.” Para sahabat tentu saja melakukanhafalan-hafalan itu tidak saja dilakukan dengan cara bekerja sama seperti halnya dilakukan oleh Umar bin Khatab dengan Abu Musa al-Asy’ari, atau bahkan kelompok-kelompok, yang antara satu dengan yang lainnya saling mengingatkan. Bekerja sama ini dilakukan mereka terkadang sampai subuh.
b.    Aktifitas mencatat dan menulis Hadits.
Diantara sahabat yang melakukan penulisan Hadits dan catatan Hadits yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh rasul SAW, sehingga diberi nama ash-Shahifa as-shadiqah. Menurut suatu riwayat diceritakan, bahwa orang-orang Quraisy mengartikan sikap Abdullah bin Amr, karena sikapnya mereka berkata: “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia disampaikannya kepada Rasul SAW, dan seraya beliau menjawab dengan tegas.

ﺃﻛﺗﺏ ﻘﻮﺍﻟﺬﻱ ﻧﻓﺳﻰ ﺑﻴﺪﻩﻤﺍ ﻴﺧﺭﺥ ﻣﻧﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﺣﻖ (ﺮﻮﺍﻩﺍﻟﺑﺧﺍﺭﻱ)
Artinya: “Tulislah ! Demi zat yang diriku berada pada kekuasaan-Nya tidak ada yang keluar dari padanya kecuali yang benar.”[9][9]
Demikian penegasan Rasulullah SAW. Yang menunjukan, bahwa menulis Hadits yang sifatnya perorangan dapt diberikan. Di sisi lain menunjukan pula, bahwa apapun yang disampaikannya, adalah benar dan kebenarannya al-Hadits adalah dijamin oleh Allah melalui al-Qur’an.
Mengenai latar belakang ia menulis Hadits, diceritakan bahwa ketika ia bersama para sahabat lain dikediamannya rasulullah SAW. Ia mendengar Hadits tentang ancaman bagi yang mendustakannya Hadits. Maka ketika slesai acara ini ia bertanya kepada para sahabat terhindar dar i ancaman itu?   Mereka menjawab:”Semua yang kami dengar dari Rasul sudah ditulis dalam catatn kami.” Jawaban para sahabat ini memberikan motifasi baginya untuk melakukan penulisan Hadits yang diterimanya.
2.    Hadits pada Masa Sahabat
Priode kedua sejarah perkembangan Hadits, adalah pada masa ahabat, khususnya masa khulafa’ ar-rasyidin (Abu Bakar Shiddiq, Umar bin al-Khathab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Masa ini terhitung sejak tahun 11 H sampai dengan 40 H, yang disebut juga dengan masa sahabat besar (Kibarus shahabah).
Pada masa sahabat besar ini perhatian mereka masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Dengan demikian, maka periwayatan Hadits belum begitu berkembang, bahkan mereka berusaha membatasi periwayatan Hadits tersebut. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukan adanya pembatasan atau memperketat periwayatan (at-tsabur wa al-iqlal ar-riwayah).
a)    Memelihara Amanah Rasul SAW.
Para sahabat, sebagai generasi pertama yang menerima amanah terbesar dari kelangsungan syariat islam, adalah menerima dan melaksanakan segala amanah Rasulullah. Amanah itu esensinya tertuang pada al-Qur’an dan Hadits sebagaimana  sabdanya ketika menjelang akhir kerasulannya yang berbunyi:
ﺘﺮﻛﺖ ﻓﻴﻛﻢ ﺸﻴﺌﻴﻦ ﻟﻦ ﺗﺿﻟﻮﺍ ﺃﺑﺪﺍ ﻣﺍ ﺇﻦ ﺗﻣﺴﻜﺗﻡ ﺑﻬﻣﺍ ﻜﺗﺍﺐ ﺍﻟﻟﻪ ﻮﺴﻧﺔ ﻮﺮﺴﻮﻞ ﺍﻟﻟﻪ
 (ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺣﻜﻢ ﻋﻥ ﺃﺑﻰ ﻫﺮﻴﺮﺓ)
Aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada keduanya,yaitu kitab Allah (al-Qur’an dan Sunnahku). (H.R Al-Hakim dari Hurairah).
Siapa saja yang berpegang pada keduanya (al-Qur’an dan Hadits) secara erat bersama-sama ia mendapatkan jaminan Rasul SAW tidak akan hidup terseat, baik didunia maupun diakhirat. Sebaliknya, siapa yang melepaskan diri dari keduanya atau hanya berpegang kepada salah satunya, merupakan penyimpangan pada salah satu merupakan penyimpangan dari amanah, yang berarti ia akan tersesat dijalan.
b)   Kehati-hatian para Sahabat dalam Menerima dam Meriwayatkan Hadits.
Setelah Rasul wafat, perhatian para sahabat terfokus usaha menyebarluaskan dan memelihara al-Qur’an. Al-Qur’an yang telah dihafal oleh ribuan penghafalnya dengn teratur, dan telah ditulis dalam berbagai shuhuf oleh para penulisnya (baik nabi SAW sendiri maupun untuk kepentingan masing-masing).
c)    Mushaf-mushaf  itu disimpan dimadinah satu buah, yang dinamai dengan mushaf al-imam. Sedangkan, yang empat lagi masing-msing disimpan dimekkah, basrah, syiriah, dan kuffah.
Perlu pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun Hadits dalam suatu kitab seperti halnya al-Qur’an. Hal ini disebabkan, antara lain: Pertama agar tidak memalingkan perhatian umat islam dalam mempelajari al-Qur’an. Kedua, bahwa para sahabat yang banyak menerima Hadits dan Rasul SAW. Sudah tersebar keberbagai daerah kekuasaan masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini ada kesulitan mengumoulkan mereka secara lengkap. Ketiga, bahwa soal membukukan Hadits, dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan soal lafad dan sahihnya.
d)   Upaya para Ulama Men-taufikan Hadits Tentang Larangan Menulis Hadits.
Perselisihan para ulama dalam soal pembukuan Hadits berpengkat pada adanya dua kelompok Hadits, yang dari sudut zhahirnya nampak adanya kontradiksi. Kelompok Hadits yang pertama, menunjukan adanya larangan Rasul SAW. Menuliskan Hadits, yang diantaranya berbunyi:
ﻻ ﺘﻛﺘﺑﻮﺍ ﻋﻧﻰ ﻮﻤﻦ ﻜﺘﺐ ﻋﻧﻰ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻘﺮﺃﻦ ﻔﺍﻴﺤﻪ ﻮﺤﺪﺜﻮﺍ ﻋﻧﻰ ﻭﻻ ﺗﺮﺥ ﻮﻤﻦ ﻜﺗﺐ ﻋﺍﻲ ﻣﺗﻌﻤﺪﺍ ﻔﺍﻴﺘﺑﻮﺍ ﻤﻗﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻠﻨﺍﺮ (ﺮﻮﺍﻩ ﻤﺴﻠﻡ)
Artinya: “Janganlah kamu sekalian menulis apa saja dariku selain al-Qur’an. Siapa yang telah menulis dariku selain al-Qur’an hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang diterima diriku, itu tidak mengapa siapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, ia niscaya menempati tempat duduknya dari api neraka”. [10][10]
Sedangkan Hadits kelompok kedua, beberapa Hadits seperti riwayat Abdullah binAsh dan Hadits tentang Abu Syahm.
Menurut An-Nawawi dan As-Suyuthi, bahwa larangan tersebut dimaksudkan bagi orang yang kuat hafalannya, sehingga tidak ada kekhawatiran terjadinya lupa. Akan tetapi bagi orang yang khawatir lupa atau kurang kuat ingatannya diperbolehkan mencatatnya.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, larangan Rasul SAW. Menuliskan Hadits adalah ketika al-Qur’an diturunkan. Ini karena, ada kekhawatiran tercampurnya antara ayat al-Qur’an dengan Hadits, kemudian menurutnya, larangan ini dimaksudkan juga untuk tidak menulis al-Qur’an dalam satu Shuhuf untuk mencatat wahyu, penulisan Hadits adalah dibolehkan.
Selain pendapat ketiga diatas, masih ada lagi pendapat-pendapat lainnya, yang jika diambil kesimpulan, maka (sebagai mana yang dilakukan oleh ‘Ajaj al-Khatib) akan ditemukan sekitar empat pendapat, seperti terlihat dibawah ini.
Pertama, menurut sebagian ulama bahwa Hadits dari Abu Said al-Khudri bernilai mauquf, karenanya tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut ‘Ajaj al-Khatib, pendapat ini tidak dapat diterima, karena Hadits Abu Sa’id al-Khudri dan Hadits-hadits yang semakna dengannya adalah ma’ruf, artinya Hadits tersebut shahih yang berarti dapat dijadikan hujah.
Kedua, yang lain menyebutkan bahwa larangan menulis Hadits terjadi pada periode awal islam. Hal ini karena adanya keterbatasan tenaga dan fasilitas. Maka sudah cukup memungkinkan penulisan Hadits dibolehkan. Menurut kelompok ini, Hukum tentang larangan Hadits berubah menjadi mubah. Mereka juga memandang kemungkinan larangan penulisan Hadits dimaksud jika disatukan pada satu suhuf dengan al-Qur’an sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.
Ketiga, ada ulama yang memandang bahwa larangan tersebut pada dasarnya bagi orang yang kuat hafalannya. Hal ini untuk menghilangkan ketergantungan yang lemah hafalannya, seperti Abu Syah atau yang khawatir lupa seperti Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash, dan beberapa sahabat lainnya.
Keempat, ada juga yang memandang bahwa larangan tersebut dalam bentuk umum, yang sasarannya masyarakat banyak, akan tetapi untuk orang tertentu yang mempunyai keahlian menulis dan membaca, dan tidak ada kekhawatiran terjadinya kekeliruan dalam menulisnya, adalah dibolehkan.
Perlu diketahui, bahwa Abu Sa’id al-Khudri sendiri 9sahabat yang meriwayatkan Hadits tentang larangan Rasul menuliskan hadits seperti disebutkan di atas), sebagaimana dikatakan al-Khatib al-Bhagdadi ternyata memiliki catatan hadits yang diterimanya dari Rasullah SAW.
3.    Hadits pada Masa Tabi’in
a.    Sikap dan perhatian para Tabi’in terhadap Hadits.
Sebagaimana para sahabat, para Tabi’in juga cukup berhati-hati dalam meriwayatkan Hadits. Hanya saja beban mereka tidak perlu berat jika dibandingkan dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an telah dikumpulkan dalam mushaf, sehingga tidak  lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode khulafa’ ar-rasyidin (masa khalifah Utsman bin Affan) para sahabat ahli Hadits telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Ini merupakan kemudahan bagi para Tabi’in untuk mempelajari Hadits-Hadits dari mereka.
Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi makkah, Maddinah, Basrah, Syam, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam itu, yang berarti juga meningkatkannya penyebarannya periwayatan Hadits (intisyar ar-riwayah).
Hadits-Hadits yang diterima oleh para tabi’in, seperti telah disebutkan, ada yang dalam bentuk catatan atau tulisan dan ada yang harus dihafal disamping dalam bentuk yang sudah berpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu Hadits pun yang tercecetatau terlupakan.
b.    Pusat-pusat kegiatan Pembinaan Hadits.
Sesuai dengan tersebarnya para sahabat wilayah-wilayah kekuasaan islam, maka tercatat beberapa kota sebgai pusat pembinaan dalam periwayatan Hadits., sebagai tempat para tujuan para tabi’in dalam mencari Hadits, dan pada gilirannya mejadi kegiatan para tabi’in dalam meriwayatkan Hadits-Hadits tersebut kepada para muridnya (tabi’in). Kota-kota tersebut ialah Madinah al-Munawwarah, Makkah, al-Mukkaramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Magrib, Andalus, Yaman, dan Khurasan.
Para sahabat yang membina Hadits di Makkah yaitu: Mu’adz bin Jabal, Atab bin Asid, Harits bin Hisyam Utsman bin Thalhah dan Salim bin Abdillah bin Umar.
Para sahabat yang membina Hadits di Kaffah yaitu: Ali bin Abi Thalib, Sa’id bin Abi Waqas, dan Abdullahbin Ma’ud diantara para Tabi’in yang muncul, ialah ar-Rabi’ bin Qaim, Kamal bin Zaid an-Nikha’i bin Abi Rabbah, Thawus bin Kaisman dan Irimah Maula Ibn Abbas.
Para sahabat yang membina hadits di Syam, di antaranya ialah: Abu Ubaidah al-Jarh, Bilal bin Rabbah, Ubadah bin Shamit, Mu’adz bin Jabal, sa’ad bin Ubadah, Abu Darda Surahbil bin Hasanah, Kahalid bin Walid, dan Iyadh bin Ganam, tabi’in yang muncul di sini, di antaranya ialah: Salim bin Abdillah al-Muharibi, Abu Idris al-Khaulani, Abu Sulaiman ad-Darani, dan Umar bin Hana’i.
Para sahabat yang membina di mesir di antaranya ialah: Amr bin ‘Ash, Uqbah bin Amir, Kharizah bin Hudzafah, dan Abdullah bin al-Harits, Sedang para tabi’in yang muncul di sini ialah: Amr bin al-Harits, Khair bin Nu’aimi al-Ja’far, Abdullah bin Sulaiman ath Thawil.
Para sahabat yang membina Hadits di Yaman, antara lain: Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari. Para tabi’in yang muncul di sini ialah: Hamam bin Munabbih, Wahab bin Munabbih, Thawus dan Ma’mar bin Rasyid.
Para sahabat yang membina Hadits di Khurasan, di antaranya ialah: Buraidah bin Husain al-Aslami, al-Hakam bin Amir al-Gifari Abdullah bin Qasim bin al-Abbas. Sedangkan di antara para tabi’innya ialah: Muhammad bin Ziyad Muhammadbin Tsabit al-Anshari, dan Yahya bin Shabih al-Mugri.
c.    Para Penulis Hadits di Klangan Tabi’in.
Sebagaimana para sahaba, di kalangan tab’in, baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil, juga melakukan dua hal, yaitu menghafal dan menulis Hadits, banyak riwayat yang menunjukan, betapa mereka memperhatikan kedua hal ini.
Tentang menghafal Hadits para ulama tabi’in sepertiIbn Abi Laila, Abu Aliyah, Ibn Syihab az-Zuhuri, Urwah bin az-zubair, dan menekankan petingnya menghafal Hadits-Hadits secara terus menerus. Kata az-Zuhri, sebagaimana dikatakan al-Auzai ‘Hilangnya ilmu itu karena lupa dan tidak mau mengingat atau menghafalnya.” Kata Alkamah, sebagaimana dikatakn Ibrahim, bahwa dengan menghafal Hadits, hadits akan terpelihara.
Tentang menulis Hadits, di samping melakukan hafalan secara teratur, di antara mereka juga menulis sebagian Hadits-hadits yang diterimanya, selain itu, mereka juga memiliki catatan atau surat yang mereka terima lngsung dari para sahabat sebagai gurunya.
d.   Perpecahan Hadits dan Pemalsuan Hadits.
Peristiwa yang cukup menghawatirkan dalam searah perjalanan Hadits, ialah terjadinya pemalsuan Hadits, yang salah satu penyebabnya ialah terjadinya perpecahan politik dalam pemerintahan. Dipandang menghawatirkan, karena merupakan tindakan yang mencemarkan dan menodai kemurnian Hadits dari dalam, dan ini oleh para pengingkar dan orientasi dijadikan salah satu alasan kuat untuk melemahkan kedudukan Hadits.
Perpecahan politik itu sebenarnya terjadi sejak masa sahabat setelah terjadinya perang jamal dan shifin, yaitu ketika kekuasaan di pegang oleh Ali bin Abi Thalib akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan pecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok, yaitu Khawarij, Siy’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut.
Dari persoalan politik tersebut di atas, langsung atau tidak langsung cukup memberikan pengaruh, positif maupun negatif terhadap perkembangan Hadits berikutnya. Pengaruh yang langsung bersifat, ialah munculnya Hadits-hadits palsu (maudlu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawannya. Adapun pengaruh yang bersifat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kondifkasi atau tadwin Hadits, sebagai upaya penyelamatan dari kemusnahan dan pemalsuan, yang muncul sebagai akibat dari perpecahan politik tersebut.




Filled Under:

0 comments:

leave comment

Semua umpan balik saya hargai dan saya akan membalas pertanyaan yang menyangkut artikel di Blog ini sesegera mungkin.

1. Komentar SPAM akan dihapus segera setelah saya review
2. Pastikan untuk klik "Berlangganan Lewat Email" untuk membangun kreatifitas blog ini
3. Jika Anda memiliki masalah cek dulu komentar, mungkin Anda akan menemukan solusi di sana.
4. Jangan Tambah Link ke tubuh komentar Anda karena saya memakai system link exchange

5. Dilarang menyebarluaskan artikel tanpa persetujuan dari saya.

Bila anda senang dengan artikel ini silahkan Join To Blog atau berlangganan geratis Artikel dari blog ini. Pergunakan fasilitas diatas untuk mempermudah anda. Bila ada masalah dalam penulisan artikel ini silahkan kontak saya melalui komentar atau share sesuai dengan artikel diatas.

Me

Post a Comment